Hanya sebuah Kisah di Balai Adat Balawaian

Penulis: Irwin Humaniora

Langit biru cerah bagaikan lukisan terbentang di atas Balai Adat Balawaian, memayungi desa yang damai nan sejuk. Angin sepoi-sepoi berdesir di antara dedaunan, membawa aroma khas pedesaan yang menenangkan. Di pedalaman Meratus, terdapat sebuah balai adat yang dikelilingi oleh hamparan pepohonan hijau hingga rerumputan yang bergoyang lembut jika ditepis angin, dan juga aliran sungai kecil yang jernih berada di samping balai adat itu menjadi pusat kehidupan dan identitas bagi masyarakat setempat. Langkah kaki saya berakhir di depan pintu masuk yang menjulang tinggi, menandai awal perjalanan saya di balai adat tersebut.

ramah tamah dengan masyarakat Desa Balawaian

Kemudian di bawah langit senja yang mendung, sebuah desa kecil yang sunyi. Rumah- rumah dengan dinding kayu berjajar rapi, terdengar riuh suara orang-orang Desa Balawaian. Perjalanan saya berakhir di depan pintu gerbang yang menjulang tinggi, menandai awal perjalanan di balai adat tersebut.

Ramah-tamah dengan masyarakat desa Balawaian merupakan momentum paling berharga bagi saya dan rekan Palalah, silaturahmi antara sesama manusia yang memiliki simbol bagaikan folklor Datu Ayuh dan Datu Intingan. Mereka menyambut kami dengan senyum dan tawa serta ceria, kami tersanjung dengan sambutan warga yang antusias, padahal yang datang ini hanyalah orang yang mau menuntut ilmu atau belajar mengenai kebudayaan urang Meratus. Tidak ada unsur lain, selain dari pada niat belajar tersebut.

“Selamat Datang di Balai Adat Balawaian” kata penghulu balai adat yang bernama Ujal kepada saya, seraya berjabat tangan dengan saya dan juga masyarakat sekitarnya. Selang beberapa menit kemudian dipersilahkan masuk ke dalam balai adat.

langgatan pada Balai Adat Balawaian

Balai Adat Balawaian berada di Desa Balawaian, Kecamatan Piani, Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan. Langkah saya terhenti sejenak saat memasuki bangunan tersebut. Atmosfer di dalamnya terasa berbeda, penuh dengan suasana campur aduk. Mulai dari keheningan yang keramat, memancarkan keindahan yang memikat hati, hingga kesakralan yang menenangkan jiwa. Di sekeliling terdapat sangkar-sangkar indah yang mengisahkan kisah-kisah leluhur dan filosofi hidup mereka menciptakan perpaduan yang mengagumkan antara tradisi dan keajaiban.

Terdapat beragam sangkar-sudah termasuk langgatannya; sangkar babangkuian (babawarikan), ancak kagunung, sangkar babiruangan, sangkar kalampung, sangkar kanyaru, sangkar kahantu, sangkar uriya, sangkar kalangkang mantit.

Struktur balai layaknya seperti sebuah bangunan umumnya, yaitu terdiri dari 1 ruangan induk di tengah balai, 1 buah dapur umum, dan 8 buah kamar yang mana masing-masing kamar ini akan ditempati oleh para tamu dari berbagai wilayah desa sekitaran Desa Balawaian. Misalnya dari Desa Harakit, Desa Macabung, Desa Batung, Desa Paramasan, Desa Pipitak, Desa Hayangin, Desa Bagandah, dan sekitarnya.

Bermula Ritual Adat

Cahaya temaram menyoroti langit-langit tinggi, terdengar alunan musik tradisional yang membelai telinga, memanggil aku dan orang lain untuk menyaksikan upacara yang menghormati roh leluhur. Orang-orang setempat dengan pakaian orisinal bahkan berpakaian kebaya yang memesona memenuhi balai adat, mempersembahkan tandik (tari) dan mamang (mantra/doa) yang menggugah perasaan. Aku terpukau oleh semangat mereka yang tulus dan kebanggaan mereka akan warisan budaya yang tak ternilai harganya.

prosesi ritual aruh

Keadaan di balai semakin malam, semakin bertambah ramai. Orang-orang dari berbagai desa berbondong-bondong menuju Balai Adat Balawaian untuk mengikuti serta menyaksikan aruh (pesta). Mereka hadir dengan kesederhanaan dan keharmonisan, berkumpul bersama merupakan citra dari orang-orang pedalaman Meratus. Bersilaturahmi serta ramah tamah di balai memperindah penggambaran mereka.

Aku melihat anak-anak Meratus yang mungil, lucu serta kuat, bermain bersama di dalam balai. Mereka terlihat riang, meski modernitas tampak belum menggerogoti tangan mereka; seperti anak-anak kota yang gila gawai. Momen ini membawa saya kembali ke masa 15 tahun silam-saya merasa balai ini seperti mesin waktu.

Balai ini sedikit mengalami perubahan yang amat besar, sedikit tersentuh modernisasi akibat dari globalisasi saat ini. Dikatakan oleh penghulu tersebut, “balai ini dulunya bukan berada di sini.” Terang Ujal penghulu Balawaian, ia melanjutkan, “lebih tepatnya terletak di atas pada posisi [balai] saat ini”. Api baru memakan setengah linting rokoknya, ia kemudian melanjutkan kalimatnya. “Kemudian dibangun kembali di posisi sekarang dengan bantuan masyarakat serta pemerintah setempat.”. Demikian arsitektur balai tersebut; bahan kayu, rotan dan papan serta ranting-ranting bambu dan juga atap seng bahkan aluminium pun juga ada.

bincang-bincang bersama Damang Adat Harakit

Dalam persinggahan saya di balai adat tidak hanya mengunjungi sebuah bangunan itu, tetapi juga menyentuh inti dari kehidupan masyarakat ini. Di balik setiap sangkar dan setiap langkah tandik, terdapat cerita-cerita yang melampaui waktu. Saya belajar menghormati dan memahami kearifan lokal serta menghargai keberagaman budaya yang membuat dunia ini semakin kaya dan berwarna.

Dalam diamnya malam yang turun, aku menyaksikan berbagai macam ritual upacara yang diselenggarakan di balai adat itu dengan hati yang penuh kekaguman. Perjalanan ke balai adat telah mengubah pandangan saya tentang warisan budaya, mengingatkan akan pentingnya menjaga dan meneruskan tradisi yang telah diturunkan dari generasi ke generasi.

ritual bapipincuk & mambuka lawang

Beragam warna dan hiasan/riasan sangkar maupun langgatan yang indah menghiasi balai adat ini, seolah-olah menggambarkan kekayaan budaya yang tersembunyi di dalam setiap filosofi sangkar tersebut. Seperti lukisan hidup, adat dan tradisi tumbuh subur dalam setiap tandik (tari) dan mamang (mantra/doa) yang menggema di seantero ruangan. Suara tabuh dari gendang (babun) yang kencang ditambah bunyi serunai (sarunai) mengalun lembut, memainkan melodi yang menggetarkan jiwa. Irama semakin memanas, seiring dengan gerakan balian yang semakin mempesona dan juga diiringi oleh seorang pinjulang. Mereka berkeliling dan meliuk dengan lemah gemulai, menyampaikan pesan-pesan dari leluhur yang tersirat. Sosok balian adalah pemimpin dalam ritual (aruh), sedangkan pinjulang adalah sosok pembantu dari balian tersebut, biasanya pinjulang ini wanita. Jika untuk balian itu bisa laki-laki bahkan wanita, tapi kebanyakan diinisiasi oleh laki-laki.

Di tengah gemuruh suara, para balian yang berwibawa duduk manis di ruangan induk balai tersebut. Mereka bermamang, dengan suara yang penuh magis, ia menyampaikan pesan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Nang Kawasa) dan perjuangan nenek moyang (Nining Batahara) dalam mempertahankan warisan budaya yang kini menjadi simbol identitas bangsa.

Ritual-ritual dalam aruh ini dimulai dari maarang marangkai, kemudian dilanjutkan dengan berbagai ritual lainnya sampai hari terakhir. Diantaranya; kalangkang mantit, bapapincuk, mambuka lawang, bapanaikan, manggantung tali rimbunan, mawagang tatak, bakaribut kawalu, manyarungan, bahantu. Ini ritual pada hari pertama, karena aruh ini diselenggarakan selama lima hari lima malam. Maka akan berlanjut ke hari berikutnya sampai selesai.

Di hari kedua ritual aruh tersebut; manyumpitan, ka hulu alai ini dilaksanakan di siang hari, dan bauria dilaksanakan pada malam hari. Kemudian siang selanjutnya (Hari ke-3) ada ritual; ancak ka gunung, ka giling tanggung, balampung, babangkuian. Lanjut pada malam harinya ada ritual; ka urang kaling, kahalang manyawing, kahalang simbaran.

Kemudian hari ke-4 ritual dilaksanakan pada malam hari saja, yaitu bintang salaan, sa kunang sakabun, saluang manayu. Terakhir hari ke-5, ritual dilakukan mulai siang hari yaitu; bujang takokan, bujang huntutan, daratan laki, daratan bini. Menjelang malam hari, ritual aruh tersebut yaitu; banyaru, baradin, balian walu, basi wayang, babiruangan, tuban kaling (manampung langgatan). Kemudian ditutup dengan baatur dahar (basusukuk).

Dalam balai adat yang indah ini, semangat yang berkobar dan makna yang mendalam terpancar dengan gemilang. Balai adat bukan hanya sekedar bangunan, tetapi juga lambang kehidupan dan peradaban yang terus hidup dalam jiwa setiap individu. Begitu banyak filosofi yang tersembunyi di setiap sangkar yang dulu diukir dengan penuh kehangatan. Di balai adat ini, warisan budaya kita tetap bersemayam, mengingatkan kita akan kebijaksanaan dan kearifan nenek moyang.

Akhir dari sepenggal kisah ini

Balai adat, sebagai saksi bisu terus mengabadikan nilai-nilai luhur dan tradisi yang takkan pernah pudar. Pintunya yang teguh tetap terbuka untuk siapa saja yang ingin melihat jendela dunia yang dulu dan sekarang, menyatukan ikatan batin dalam kepelbagaian. Maka, dalam sepi yang tenang, mari kita merenung dan berjanji untuk mempertahankan keindahan warisan leluhur ini hingga masa depan yang tak terbatas.

Kita adalah satu keluarga, terikat oleh benang-benang sejarah yang tak terputus. Kita berjanji untuk menjaga dan melindungi tempat ini, sebagai warisan berharga yang tak ternilai. Mengiringi langkah menjelajah dunia, ia akan selalu menjadi sumber inspirasi dan kekuatan. Sampai bertemu lagi di balai adat lain yang penuh cinta dan kehangatan.

***

Kabut pagi menyelimuti perbukitan Meratus, bagaikan tirai putih yang terbentang di atas hamparan rerumputan hijau lagi menguning. Sinar mentari berusaha menembus kabut, menciptakan semburat jingga yang memukau di langit timur. Aku berada di Balai Adat Balawaian, sambil menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma tanah basah memgembun dan dedaunan segar. Sebuah sensasi damai dan ketenangan menyelimuti seluruh diriku. Pemandangan di sekeliling bagaikan lukisan alam yang sempurna, memanjakan mata dan jiwa.

Perbukitan Meratus dengan kekayaan alam dan budaya yang masih terjaga kadang-kadang menjadi tujuan utama bagi pencinta budaya maupun pencinta alam. Urang (orang) Meratus masih memegang teguh tradisi leluhur mereka (aruh-babalian). Di dalam balai, para tetua desa, balian, dan pinjulang sedang bersiap untuk melakukan ritual adat selanjutnya. Dalam ritual aruh merupakan bentuk syukur atas panen yang melimpah dan doa untuk kelancaran musim tanam ditahun berikutnya.

ritual ka hulu alai

Setelah ritual selesai, aku melangkahkan kaki untuk keluar balai berkeliling Desa Balawaian menyusuri jalan setapak yang bertanah merah berbatu kerikil. Suara kicau burung dan gemericik air sungai kecil menemani perjalananku. Sesekali, aku menyapa penduduk desa yang ramah dan murah senyum. Senyum mereka yang lebar dan sapaan hangat mereka membuatku merasa seperti berada di rumah sendiri. Aku membalas sapaan mereka dengan senyuman dan menanyakan kabar mereka. Mereka selalu antusias menceritakan keseharian mereka di desa, mulai dari hasil panen yang melimpah hingga cerita-cerita kehidupan di desa yang jauh dari hiruk pikuk kota.

Aku berhenti sejenak di sebuah warung kecil di pinggir jalan. Seorang ibu dengan rambut hitam yang diikat rapi dengan anaknya yang masih kecil-mungil menyambutku dengan senyuman hangat. Aku memesan secangkir kopi panas dan sepiring pisang goreng. Sambil menikmati kopi dan pisang goreng sarapan pagi, aku mendengarkan cerita-cerita para ibu-ibu tentang kehidupan mata pencaharian di Desa Balawaian. Mereka berprofesi: perawat posyandu desa, guru TK, dan pedagang. Setelah selesai minum kopi, aku beranjak untuk kembali ke balai.

ngopi sambil diskusi di warung

Aku terus berjalan, menikmati setiap momen di desa ini. Keindahan alamnya yang masih asri, keramahan penduduknya, dan kearifan lokal yang masih terjaga membuatku merasa damai dan tenteram. Di sini, aku merasa jauh dari kesibukan dan stres kehidupan kota. Setelah beberapa menit berjalan, tiba di balai desa. Perasaanku dipenuhi dengan rasa bahagia dan puas. Aku bersyukur atas kesempatan yang diberikan untuk mengunjungi desa ini dan merasakan langsung keramahan penduduknya serta keindahan alamnya. Aku yakin akan kembali lagi ke sini suatu saat nanti.

Pada malam harinya, aku pamit seraya bersalaman dengan beberapa penduduk Desa Balawaian. Aku meninggalkan perbukitan Meratus sekaligus Balai Adat Balawaian dengan hati yang penuh kenangan indah. Aku belajar banyak tentang budaya dan tradisi Urang Meratus, dan juga merasakan keramahan dan kehangatan mereka.

“Terima kasih, sampai jumpa lagi”, seraya berkata mengakhiri kisah perjalanan ini.

Posting Komentar

0 Komentar