Penulis: Hairiyadi Kelana Budaya
Pancaran sang penguasa cahaya secara perlahan mulai meredup terhalang oleh gumpalan-gumpalan awan bak jelaga yang bergerak menggerombol rendah mengombak diantara bumi dan langit. Warna biru yang menghampar sebatas cakrawala tersapu oleh warna mengabu terhimpun menyatu bagaikan raksasa mengangkang angkasa. Tiupan Batara Bayu memperdengarkan bunyi mendesir, berdesau dan mendengung secara bergantian tanpa jeda, tanpa irama, menggoyang dahan, ranting serta meliuk-liukkan pucuk-pucuk daun pepohonan. Serpihan-serpihan kapuk yang keluar dari buahnya yang sudah mengering dan merekah, beterbangan mengayun mengikuti gelombang tiupan Batara Bayu membentuk titik-titik putih diantara rona gumpalan-gumpalan awan yang menghitam. Hawa dingin mulai menyeruak dan menerpa pemukiman yang sepi. Hawa yang dingin juga menyelusup kedalam pondok dimana Annur, ibunya dan Lyra Auradianty yang sedang dilanda kesedihan terbawa oleh sapuan sang bayu.
Batin Lyra Auradianty yang terbawa oleh hempasan dari pemandangan yang mengiris relung-relung hatinya mengumbar ribuan rasa berkecamuk menerawang kehidupan Annur bersama ibunya. Apakah pemandangan yang dilihatnya merupakan wujud dari lingkaran pemahaman tentang kesehatan dan penyakit berasal dari sebuah keyakinan bahwa segalanya merupakan bentuk kehendak sang maha dalang karena ulah manusia sendiri yang memainkan lakonnya tidak selaras dengan harmoni alam. Apakah kemiskinan difahami sebagai sesuatu yang harus diterima tanpa ada hak untuk mengubahnya. Kalau begitu, inikah bentuk dari tindakan yang manusia yang dianggap bertentangan dengan keselarasan alam dan inikah bentuk dari sikap pasrah yang diyakini oleh mereka.
Lyra Auradianty mengeluarkan stateskop dan alat pengukur tekanan darah dari dalam tasnya, sebagai manusia biasa walaupun dia seorang dokter, tak urung tangannya bergetar halus yang nampak dari goyangan alat-alat yang terpegang di tangannya. Dia berusaha dengan keras untuk menguasai perasaannya, perlahan namun terlatih dperiksanya kondisi ibu Annur, sungguh memprihatinkan, tubuh kurus, kulit mengering dan mata yang meredup telah mengidap penyakit kekurangan gizi yang parah.
Lyra Auradianty meletakkan tangan ibunya Annur di pangkuannya, mata yang redup berpendar di dalam rongga mata yang cekung, kosong memandang ke atas, ke atap pondok yang compang-camping sehingga seolah-olah memberikan ruang untuk lintasan cahaya berbentuk garis-garis lurus mengisi ruangan dalam pondok. Tarikan napas yang berat dan bunyi desis yang halus keluar dari mulut Lyra Auradianty, seakan dia berusaha untuk melepaskan beban berat yang menghimpit dadanya. Dengan rona muka yang dibuat setenang mungkin, Lyra Auradianty memandang Annur dan melambai memberi isyarat untuk mendekat kepadanya. Dipegangnya pundak Annur sambil mendekatkan wajahnya.
“Annur, saya kira ibumu ini kita bawa saja ke rumah saya ya .... ? Supaya nantinya saya lebih leluasa memberikan perawatan.” sembari mata Lyra Auradianty memandang mata Annur, jauh menerobos sampai ke relung hati Annur yang terdalam. Annur menundukkan wajahnya, degup jantungnya bergerak dengan cepat, wajahnya berubah pucat.
“Apakah penyakit ibu saya parah ? Dan kalau harus dirawat oleh ibu dokter, bagaimana kami harus membayar biaya perawatan itu?” suara Annur bagaikan sayup-sayup terdengar.
“Oh, penyakit ibumu tidaklah terlampau parah, hanya untuk saat ini ibumu butuh perawatan dari seorang dokter. Annur tidak usah memikirkan soal biaya perawatan, semuanya tanggung jawab saya.” Suara Lyra Auradianty terdengar tegas dan meyakinkan.
Gumpalan-gumpalan awan bertambah hitam dan memekat. Gerakannya bertambah cepat seolah-olah ingin menutup bentangan langit. Seekor elang terbang melintas dengan kepakan sayap mengibas suara dengungan tiupan sang bayu yang berdesau ditingkahi oleh suara burung ‘kacicirak’ yang nyaring dengan nada berirama memoles desauan suara sang bayu. Dua ekor katak hijau melompat-lompat berkejaran di hamparan daun-daun teratai kemudian menghilang di rumpunan tumbuhan eceng gondok. Pancaran sang penguasa cahaya mulai tampak memerah bergerak lambat menempel pada tiga per empat batas cakrawala.
Lyra Auradianty membereskan semua peralatannya dan Annur mengambil beberapa potong sarung dan baju ibunya yang sudah lusuh dan berumur tua, dimasukkannya ke dalam kantongan plastik. Selanjutnya mereka berdua bersiap-siap untuk mengangkat tubuh ibunya Annur untuk diturunkan dari pondok dan dimasukkan ke dalam perahu. Mereka terkejut ... mata ibunya Annur terbuka tanpa berkedip, mulutnya setengah terbuka, warna memucat semakin nyata, dadanya bergerak tak beraturan. Lyra Auradianty dengan segera memegang pergelangan tangan ibunya Annur, penuh perhatian, penuh konsentrasi, sedangkan Annur sendiri duduk terpaku, bingung, khawatir menyatu dalam hatinya.
Suara tiupan tambah berdesau, hempasannya semakin menguat, pintu pondok yang tanpa engsel nampak bergerak-gerak, beberapa potong atap terlepas, terbang menjauh kemudian terlempar, menukik menyentuh ranting pohon galam dan menggeletak di atas pusaran air.
Napas ibunya Annur nampak semakin memburu, tubuhnya bergetar hebat, rona memucat sudah memenuhi seluruh tubuh, dengan satu tarikan napas yang kuat dalam hitungan detik tubuh ibunya Annur telah berubah menjadi sekujur tubuh yang kaku.
“Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun” terdengar suara Lyra Auradianty dan Annur yang hampir bersamaan.
Sesaat Annur memandangi wajah ibunya, dengan perlahan wajahnya menelungkup pada dada ibunya, genangan bulir-bulir kristal putih membasahi sarung penutup tubuh ibunya, tangan kanan Annur mengusap wajah ibunya sambil menelusuri tiap lekukan yang terdapat di wajah tersebut, seolah-olah Annur ingin membawa semua sentuhan tangannya ke dalam jiwanya.
Lyra Auradianty terduduk bagaikan patung tanpa roh, jiwanya kosong melayang-layang ikut terlarut bersama desauan angin, kadang terangguk laksana pucuk-pucuk daun galam yang lemah tak berdaya. Seekor anak kucing nampak duduk di sudut dinding pondok, matanya memandang apa yang ada di hadapannya, telinganya bergerak-gerak menepis nyamuk-nyamuk yang berseliweran di dekatnya.
“Begitulah om ceritera pertemuan saya dengan Annur” kata Lyra Auradianty.
“Hhhhhh ....” terdengar desahan tarikan napas om Murdi. “Sungguh, pertemuan yang tragis” kata om Murdi pendek.
“Annur anak yang rajin dan berbudi walaupun prestasi belajarnya di sekolah biasa-biasa saja, namun masih terngiang apa yang pernah diutarakan oleh almarhum Yanuar pada saya, bangsa ini tidak kekurangan memiliki anak-anak bangsa yang cerdas dan berprestasi gemilang, tetapi tidak banyak memiliki anak-anak yang rajin dan berbudi. Banyak pemimpin-peminpin yang dilahirkan dengan kecerdasan dan segudang prestasi gemilang, tetapi bangsa ini lebih membutuhkan tidak hanya pemimpin yang cerdas dan berprestasi gemilang tetapi lebih dari itu PEMIMPIN YANG BERBUDI.” kata Lyra Auradianty.
Om Murdi mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengusap dagunya. “Jadi apa yang dilakukan oleh Lyra ini merupakan usaha untuk mewujudkan apa yang telah dikatakan oleh almarhum Yanuar dengan kata lain wujud sebuah amanah?” sela om Murdi.
Lyra Auradianty mengangguk halus sambil matanya memandang ke halaman rumah.
Empat ekor kupu-kupu pancawarna beterbangan diantara kumbang-kumbang pengisap madu, seekor kupu-kupu itu hingga di kuntum bunga matahari, terayun-ayun di situ sambil sayapnya menyapu dengan kibasan lembut membentuk bauran warna di latar bunga matahari yang merah.
*** tamat ***
0 Komentar