HATI YANG AMANAH (PART 2)

Penulis: Hairiyadi Kelana Budaya

 


Pohon-pohon galam tumbuh laksana hamparan permadani hijau yang memenuhi bentangan rawa yang luas. Warna kulit batangnya yang kuning ke putih-putihan memberikan sapuan ditengah rentang kehijauan dedaunan yang merimbun. Di ranting-ranting pepohonan galam itu bertengger kerumunan kelompok burung bangau putih yang matanya selalu awas memperhatikan ikan-ikan yang siap untuk dimangsanya. Beberapa diantaranya sedang asyik menelisik sela-sela sayap dengan paruhnya yang panjang. Bulu-bulu putihnya beterbangan kian-kemari, ringan bagaikan kapas, turun-naik bergelombang tertiup angin. Diantara pohon-pohon perdu air beberapa burung ‘binti’ diam bagaikan boneka kayu yang tertancap pada ranting pohon, bulu sayap yang berwarna hijau kehitaman dengan bulu dada kecoklatan, paruh berwarna merah dan mahkota yang berwarna kuning nampak indah bagaikan rangkaian warna mutu manikam. Dia terkenal sebagai burung yang penyabar, sabar dalam mengais rezeki peyambung kehidupannya. Monyet-monyet bergayutan, terayun dan kemudian melompat-lompat dari ranting ke ranting, dari satu pohon ke pohon yang lain.
Langit cerah membiru. Gumpalan awan putih bergerak perlahan-lahan. Bentuknya selalu berubah-ubah. Sekali waktu gumpalan yang satu menggabung menyatu dengan gumpalan awan yang lain, pada ketika yang lain satu gumpulan memecah menjadi beberapa gumpalan kecil, terus begerak dan terus berubah. Ada suatu saat mereka saling mendekati dan pada suatu saat yang mereka saling menjauhi, terus menjauh sampai hilang dari penglihatan mata.
Tumbuhan teratai sedang musim berbunga. Tangkainya yang panjang menyembul dari piringan daunnya yang lebar, bersegi berwarna hijau. Kelopak bunganya sedang membuka berbentuk helaian-helaian. Beberapa kelompok teratai memperlihatkan helaian kelopak bunga yang berwarna putih dan di kelompok lainnya berwarna merah muda. Serombongan serangga kecil kecil bersayap sedang sibuk mengerumuni putik bunga-bunga teratai itu. Burung-burung belibis berenang menyeruak diantara tumbuhan teratai, dengan tangkas beberapa diantaranya menyeluruk ke dalam air dan kemudian dengan sigapnya terbang mengangkasa.
Dari kejauhan pandangan mata terhampar semacam pemukiman yang berdiri di atas bentangan rawa yang luas. Usapan sinar mentari memberikan penjelasan serba terbatas tentang pemukiman itu. Setelah agak dekat, nampak bahwa di situ adalah himpunan pondok-pondok tempat penghuninya bertempat tinggal. Pondok-pondok itu dibangun dengan bahan bangunan utama dari kayu galam, dindingnya pun dari bahan kulit kayu galam juga, beratap rumbia dan berlantai bambu yang disusun berjajar. Tidak nampak para penghuninya, hanya terdengar sayup-sayup di pendengaran telinga sebuah lagu dangdut ‘Menunggu’ yang dinyanyikan oleh Ridho Rhoma. Sebuah pemukiman yang nyaris sepi.
Haluan perahu yang dikemudikan Annur mengarah pada salah satu pondok yang letaknya agak berjauhan diantara pondok-pondok lainnya, sebuah pondok dengan ukuran panjang 4 meter dan lebar 3 meter, mempunyai satu pintu dan satu jendela. Dindingnya sudah banyak yang terlepas sehingga disana-sini kelihatan lubang-lubang bagaikan bidang datar yang bopeng-bopeng. Begitu pun juga atapnya tidak lebih baik dari dindingnya, sudah sangat tua dan usang. Sudah pasti apabila diterpa oleh turunnya hujan yang sangat deras maka air akan masuk dengan leluasa ke dalam pondok. Tanpa halaman, sekelilingnya hanya air.
Dengan perlahan-lahan perahu mendekati salah satu tiang dari tangga naik ke atas pondok. Perahu diposisikan secara melintang dan salah satu bagian dindingnya didempetkan pada salah satu anak tangga. Annur meminta permisi untuk melintas di depan Lyra Auradianty sambil membungkukkan badannya menuju ke arah haluan. Dengan berjalan secara hati-hati agar perahu tidak oleng karena gerakannya. Sesampai di haluan diambil tali penambat perahu, diikatkannya dengan kuat pada salah satu tiang tangga naik. Uppsss ... kaki Annur menjejak ke atas anak tangga.
“Mari bu dokter ... inilah pondok tempat tinggal kami, semoga bu dokter tidak risi singgah di sini” kata Annur sambil mengulurkan tangan kecilnya untuk membantu Lyra Auradianty naik ke atas dari dalam perahu yang ditumpanginya. Lyra Auradianty naik ke atas dengan tangan kanannya berpegangan pada tangan Annur, sedangkan tangan kirinya memegang pagar tangga. Annur berada di depan mendahului Lyra Auradianty ketika menuju pintu pondok yang tertutup tidak terlalu rapat. Pintu pondok ternyata tidak bersatu dengan dinding dengan rekatan sepasang engsel tetapi hanya disandarkan saja seadanya.
“Ibu ... ini Annur sudah datang” kata Annur, kemudian tangannya ke arah Lyra Auradianty. “Dan ini ibu dokter Lyra Auradianty yang ingin berkunjung ke pondok kita ini.”
Dengan sapuan matanya, nampak oleh Lyra Auradianty seorang ibu yang sedang hamil tergolek lemah di atas kasur. Kasur usang dan sudah tua termakan usia, isi kapuknya sudah sangat tipis, benang jahitan pada kain pembungkusnya sudah banyak yang terlepas. Alas kasurnya, sarung batik yang sudah lusuh dan banyak sobekan di sana-sini. Sarung batik itu pun tidaklah mampu menutupi seluruh bidang kasur. Bantalnya pun tipis, sudah usang dan tua pula, tanpa sarung. Secara sekilas terlihat banyak bercak-bercak yang memenuhi bantal itu. Bercak-bercak dari tumpuhan airmata yang sudah mengering. Ibu Annur yang sedang hamil tergolek di atas kasur itu, badannya sudah kurus, kulit tubuh dan bibir mengering, matanya kuyu hampir menyipit membentang bagaikan sebuah garis tebal yang lurus, rambut tergerai acak-acakan tak terurus. Lurus sejajar dengan hunjuran kaki berjarak kurang lebih 50 centimeter terdapat sebuah dapur tanah berisikan potongan-potongan kayu galam yang baranya masih menyala, asap yang tipis menyebar mengisi seluruh ruang pondok. Dekat kepala di samping sebelah kiri sebuah cerek dan cangkir aluminium teronggok bagaikan penunggu setia ibu Annur yang terbaring lemah.
Annur dan Lyra Auradianty melangkah secara perlahan menghampiri tubuh kurus terkulai yang hanya tinggal daging pembalut tulang. Annur duduk di samping kiri ibunya dan Lyra Auradianty di sebelah kanannya. Dengan tangan kanannya Lyra Auradianty menyalami ibu Annur. “Ibu, saya Lyra Auradianty, temannya Annur, saya bertemu dengannya dan kemudian saya mengajaknya untuk berkunjung ke rumah ibu ini.” Mata ibu Annur menatap sendu dan kuyu ke arah Lyra Auradianty, tangannya yang bersalaman terasa dingin dan bergetar. Bibirnya yang terkatup terbuka dengan berat dan perlahan mengucapkan kata yang hampir tak terdengar: “te ... te ... rima kaa...sih, ibu ... baaa..ik sekali,” katanya pendek. Mendengar suara dan melihat kondisi fisik ibu Annur, terasa sesak yang menggumpal-gumpal dalam dada Lyra Auradianty, lehernya bagaikan tercekik, lidahnya kelu, lunglai tulang-belulangnya bagikan tak mampu menahan tubuhnya. Apa yang bisa diperbuat oleh Annur dalam kondisi ibunya yang demikian? Adakah harapan-harapan yang bisa tumbuh dalam jiwa ibunya Annur dengan segala kepapaannya? Adakah keinginan yang ditumpukan pada Annur seandainya Tuhan menjemputnya? Beribu pertanyaan memenuhi kepala Lyra Auradianty. Sesaat dirinya serasa melayang, pandangannya kosong menatap tubuh ibunya Annur. Sungguh perasaannya sangat trenyuh. Annur terdiam, begitu juga Lyra Auradianty. Suasana menjadi sunyi, hanya terdengar suara dua ekor cecak yang berkejaran memperebutkan mangsa seekor capung kecil yang kebetulan terbang melintas di dekatnya., suara tretek ... tek ... tek kecil mengisi kesunyian. Di luar pondok terdengar suara elang bondol menggelombang terbawa angin yang bertiup semilir, meliuk, meyusup ke sela-sela pepohonan galam, mengiris pilu hingga mengisi relung hati Lyra Auradianty yang terpaku sedih, duduk bersimpuh di depan tubuh ibunya Annur. Annur memandangi ibunya, sebaris putih bening mulai mengabur dimatanya, menyusup menjadi titik-titik di pelupuk dan bulu matanya, kemudian berliku-liku dipipi menyatu dan bergantung didagunya, akhirnya jatuh dan meghilang di sela-sela lantai bambu.

***bersambung***

Posting Komentar

0 Komentar