NAMAKU DAN NAMAMU, KENANGAN ITU (CERPEN)

Penulis: Hairiyadi Kelana Budaya




Semuanya sudah berubah. Dulu, disini kebun singkong. Kebun singkong yang luas, dibawahnya menghampar tanaman ketela rambat dan tanaman kacang tanah. Karena itu warna hijaunya daun mendominasi sampai batas-batas pemandangan mata. Beberapa pohon manggis tumbuh menyeruak menempatkan dirinya lebih tinggi dari tanaman singkong. Sungguh menarik ketika di sapu dengan penglihatan mata, dedaunannya yang sedikit lebar dan membulat ditingkahi dengan buahnya yang juga bulat dengan warna merah kehitaman. Rumpunan pohon kelapa menjuai tinggi, berbatang kurus, pelepah dan daun yang tidak merimbun tetapi berbuah lebat.

Sekarang ... di lahan ini berdiri bangunan Sekolah Dasar lengkap dengan lapangan olahraga dan perumahan untuk guru-gurunya. Beberapa rumah-rumah yang semi permanen milik penduduk juga berdiri tidak berapa jauh dari kompleks sekolah telah menggantikan pondok-pondok beratap daum rumbia berdindingkan anyaman bambu berlantaikan belahan batang pinang.

Dari matahari terbit membentang persawahan yang dibuat berpetak-petak dengan galangan sebagai pembatas pada setiap petakan. Pada galangan itu tumbuh rerumputan banta yang berwarna hijau, begitu elok bak pigura pembingkai foto.

Dulu ... ditengah kebun ketela ini melintas jalan setapak yang merupakan penghubung antara desa dengan persawahan, di tepinya sebelah selatan tumbuh pohon ketapang berdaun rindang dengan batangnya yang besar dan nampak gagah perkasa. Disini ... di tempat aku duduk sekarang dengan beralaskan daun pisang kering, jalan setapak itu masih ada, pohon ketapang itu pun masih ada, semakin bertambah tinggi, bertambah besar, bertambah rimbun dan ... ahh ... tulisan itu ... AGUNG PERKASA DAN RIANA INDAH DEWI, tulisan yang diberi tepi dengan gambar hati. Tulisan itu masih tergurat, melekat abadi pada batang pohon ketapang yang tentunya semakin menua.

Dua puluh lima tahun ... yah ... dua puluh lima tahun, bukan waktu yang pendek, sungguh, bukan yang waktu yang pendek. Namun ... tulisan itu, serasa baru kemaren, di sore indah yang sama, sekarang aku juga duduk dengan alas yang sama seperti dua puluh lima tahun yang lalu.

Pandangan mataku menyusuri jalan kecil nan setapak dari penghujung jalan masuk, pelan-pelan, ke tempat aku duduk, kupalingkan wajah mengikuti pandangan mataku hingga meluas ke hamparan sawah yang membentang dengan bulir-bulir padi yang menguning, daun-daunnya yang meruncing melambai-lambai, batangnya mengangguk-angguk tertiup angin kemarau ditingkahi dengan cericitnya burung-burung pipit bagaikan bercanda dengan rianya.

Kupalingkan kembali wajahku ke batang pohon ketapang, kutatap lekat tulisan dua puluh lima tahun yang lalu itu, hhmm ... aku mendesah dan tersenyum sendiri. Kemudian kutundukkan wajahku ke tanah, tanah dimana dulu kita duduk berdua, berdampingan, tanganku bertumpu pada lutut. Di tanah itu ada wajahmu, nampak jelas, jelas sekali, rambutmu yang panjang dan hitam diikat kepang dua menjulur di bahumu, gerak bibirmu berbicara dan tersenyum, gaya tanganmu memberi tekanan pada setiap ucapan yang kamu anggap penting, warna suaramu yang khas dimana aku dapat membedakannya dengan wanita yang lain. Kamu emang tukang bicara yang handal, isi pembicaraanmu memikat, gaya bicaramu sangat aku suka. Kamu juga orang yang suka gemas, sudah tak terhitung lagi tangan dan hidungku yang besar dan macung ini kau cubiti karena kamu kesal padaku. Yah ... kamu sering kesal denganku, itu karena aku hanya mengumbar senyum, melepaskan pandangan mataku dengan nanap ke dalam matamu tetapi mulutku hanya terdiam mendengarkan apa yang kamu bicarakan.

“Ayo dong kak Agung, tanggapi pembicaraanku, masa kakak cuma menjadi pendengar yang baik dan hanya menjadi tukang senyum. Adik sudah cape, gantian bicaranya kak ...?!” kata Riana pada suatu ketika sambil mencubit hidungku. Hidungku memang selalu menjadi sasaran cubitan Riana dalam kegemasan dan kekesalannya padaku. Katanya dia suka hidungku, haaa ....! Seperti biasanya, aku hanya mengumbar senyum dan tatapan mataku yang dalam ke matanya Atau, paling-paling aku membalas cubitannya dengan menekan-nekan alis matanya. Alis matanya yang tebal dan hitam bagaikan semut beriring kata peribahasa. Yah ... aku sangat suka dengan alis matamu ... haaa .... ! Kalau ku tekan-tekan alis matamu, kamu semakin keras mencubiti hidungku dan terus merajalela hingga ke kedua tanganku. Aku mengerang kesakitan, mengeliat-ngeliat menghindari cubitan demi cubitannmu. Kalau kamu sudah puas melampiaskan kegemasanmu padaku, namun masih menyimpan kekesalan di hatimu kepadaku, kamu akan bersungut-sungut, kau tundukkan wajahmu dengan mimik masam merengut, tanganmu mengais-gais di tanah dengan ranting kayu yang kecil atau tanganmu dengan gemasnya mencabuti rumput-rumput kecil yang ada di sekitarmu.

“Riana ... dengan seperti itu ... kamu lucu seperti anak kecil yang mainannya disimpan oleh saudaramu” kataku dalam hati.

Aku angkat wajahku, ku arahkan ke batang pohon ketapang, kutatap kembali dengan mataku, nanap dan lekat, tulisan yang ada namaku dan namamu. Aku bergumam hampir berbisik: “Riana lama sekali yah waktu memisahkan kita, namun rasanya kita disini baru kemaren, pohon ketapang itu masih ada Riana, begitu juga guratan tulisan namaku dan namamu masih, aku sekarang duduk di sini masih seperti kemaren itu juga. Kamu sekarang sukses Riana, ibu dari 2 orang puteri dan satu orang putera. Dua orang anakmu sudah hampir menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi, anakmu yang bungsu duduk di kelas III SMP. Kamu isteri dari seorang pengusaha yang sukses dan kamu sendiri adalah dosen yang dicintai oleh mahasiswa-mahasiswamu.”

“Kamu juga lelaki yang sukses kak Agung Perkasa, sesuai dengan namamu, hebat, cemerlang dan perkasa. Kau memang patut mendapat kesuksesan, kamu seorang pekerja yg tekun dan teliti, kamu pendiam tetapi kamu pekerja yang rajin, sangat sesuai dengan profesimu sebagai seorang engineer lulusan universitas yang ternama” suara Riana jelas terdengar di telingaku, ahh ... dimana dia ... apakah dia ada disini juga? Wow ... di tulisan namaku dan nama Riana, wajahnya muncul membayang disitu.

“Aku merasa tidak seperti itu, aku masih banyak kekurangannya dibandingkan dengan apa yang telah kamu miliki Riana .... !”

Riana Indah Dewi mendekati aku, dia duduk, kami jadi berdempetan.

“Maaf ... mudah-mudahan dugaan adik salah. Perasaan kekurangan yang ada pada diri kak Agung barangkali kak Agung belum mempunyai pendamping sebagai teman hidup kak Agung yah ... Cari dong kak Agung ....?”

“Belum kak Agung dapatkan wanita seperti dik Riana ...! kataku pelan.

“Wuih ... tumben kak Agung sekarang jadi orang yang bisa membalas pembicaraan dik Riana ... hi hi hi. Ada perubahan nih pada diri kak Agung .... !”

“Yaahhh ... banyak yang sudah berubah, tapi ... (sambil telunjukku mengarah ke batang pohon ketapang) guratan tulisan namaku dan namaku di sana tetap, tidak berubah, abadi .... sebagaimana tidak berubahnya dan abadinya perasaan kak Agung kepada dik Riana ....”



(Ketika ceritera ini ditulis, Riana Indah Dewi meletakkan telunjuknya tegak lurus ke bibirnya ... “sstt, jangan dihabiskan menulisnya nanti kak Agung kehabisan bahan dan ide, nanti saja dilanjutkan menunggu komentar dari pembacanya apa tertarik untuk diteruskan atau sampai di sini saja”)

Aku mengangguk, tanda setuju dengan apa yang dikatakan Riana Indah Dewi.

Posting Komentar

0 Komentar