HATI YANG AMANAH (PART 1)

Penulis: Hairiyadi (Kelana Budaya)




Hari sangat panas. Pancaran sinar matahari sangat teriknya, angin pun sepertinya enggan bertiup. Langit bersih membiru tanpa awan yang menutupinya.

Seorang lelaki yang berumur sekitar 32 tahun tampak gagah dengan mengenakan kacamata hitam, baju kotak-kotak biru-putih, jelana jins Levi’s warna biru donker, sepatu boot kulit warna orange dan dikepalanya bertengger topi helm proyek. Sang lelaki itu sepertinya memberikan petunjuk kepada beberapa orang pekerja yang mengelilinginya. Mereka terlibat pembicaraan yang sangat serius. Cukup lama pembicaraan mereka berlangsung, kemudian terlihat mereka saling bersalaman sambil tertawa-tawa.

Sang lelaki berjalan menyusuri tepi jalan sambil memperhatikan tanah-tanah yang digali dan tumpukan material yang teronggok di sepanjang tepi jalan. Rupanya sang lelaki adalah pimpinan proyek dari proyek pembuatan jalan yang kini sedang mereka lakukan. Nampak sang lelaki yang menjadi menjadi pimpinan proyek itu, tipe orang yang sangat teliti dan disiplin. Beberapa kali dia memperhatikan hasil pekerjaan dari para pekerjanya dan kemudian memberikan pengarahan agar pekerjaan sesuai dengan yang diinginkan.

Di bawah pohon yang teduh dan rindang sang pemimpin proyek kemudian berhenti dan berdiri di sana sambil mengawasi pekerja-pekerja proyek yang sedang bekerja, sesekali dia mengalihkan pandangannya ke arah orang-orang yang lalu-lalang melewati sebagian jalan yang sudah selesai dikerjakan.

*****

Seorang wanita muda yang cantik dengan pakaian rapih namun dandanannya sederhana nampak ingin menyeberang jalan. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan mencari celah dan kesempatan untuk menuju sisi jalan di seberangnya. Wanita itu nampak anggun dan elegant. Ketika lalu-lintas di jalanan mulai lengang, sang wanita dengan cekatan langsung menyeberang.

*****

Sang lelaki muda yang berteduh di bahwa pohon rindang lekat memperhatikan wanita muda penyeberang jalan yang kebetulan tidak jauh dari tempatnya berdiri.

“Eeehhh ... sepertinya ... aku pernah melihat wanita itu sebelumnya. Siapa ya ...?!” suara sang lelaki dari dalam hatinya.

Dia mencoba untuk melihatnya dengan lebih jelas lagi dan mencoba untuk mengingat-ingatnya.

“Ohh ... iya. Aku ingat sekarang, itukan Lyra Auradianty, calon isterinya almarhum Yanuar. Iya ... tidak salah lagi, itu Lyra Auradianty.”

Dengan bergegas sang lelaki mendekati wanita penyeberang.

“Hai ....! Masih ingat ingat saya” sapa sang lelaki.

Sang wanita kaget dengan matanya mencoba mengenali lelaki yang menyapanya.

“Lupa ya!” sapa sang lelaki lagi, sambil melepaskan kacamata hitam dan topi helm proyeknya.

“Ooouuuuhhh ... walah ... om Murdi ya? Ya ... om Murdi. Apa kabar om? Jawab sang wanita yang masih belum hilang kekagetannya.

“Iya ... benar, saya om Murdi, om’nya Yanuar. Kamu Lyra kan ... ? Lyra Auradianty.”

“Benar om ... saya Lyra Auradianty, gimana nih kabarnya om, sudah lama kita tidak bertemu setelah pemakaman abang Yanuar beberapa tahun yang lalu.”

“Alhamdulillah, kabar baik saja Lyra. Kamu sendiri bagaimana kabarnya sekarang?”

“Alhamdulillah kabar baik juga om. Tumben ... siang-siang panas begini ada di pinggir jalan, lagi ngapain om”

“Ooouu ... om lagi ada kerja’an proyek ini (sambil tangannya menunjuk jalanan) yang masih dalam tahap penyelesaian untuk dibenahi di sana-sini sehingga sesuai dengan kontrak pekerjaaan.”

“Ooouu ... begitu, jadi kontraktornya dari perusahaan om Murdi ya?”

“Kira-kira begitulah Lyra. Kamu sendiri mengapa ada disini?”

“Saya ditempatkan sebagai dokter di Puskesmas itu” tangan Lyra menunjuk sebuah bangunan yang bertuliskan PUSKESMAS.

“Begitu ya ... lalu sejak kapan Lyra sebagai dokter Puskesmas di sini?”

“Belum begitu lama om ... ehh ... sekitar 2 tahun”.

“Baguslah, om Murdi angkat jempol buat kamu karena bersedia di tempatkan di Puskesmas yang terpencil disini. Tidak banyak dokter yang bersedia di tempatkan di tempat terpencil seperti ini. Ehhh ... ngomong-ngomong bersama siapa Lyra tinggal disini?”

“Ada yang menemani om .... !”

“Sudah dapat suami ... dan sekarang tinggal bersama suamimu yah?”

“Idiihhh ... om Murdi, Lyra masih belum bersuami om.”

“Lalu ... kamu tinggal bersama siapa?”

“Bersama seorang anak kecil yang saya anggap sebagai anak saya sendiri. Anak laki-laki yang berumur 10 tahun, kebetulan wajahnya mirip .... almarhum Yanuar. Anak tersebut saya sekolahkan dan sekarang sudah di kelas III SD.”

Wajah Lyra Auradianty menerawang ke atas seolah-olah wajah almarhum Yanuar ada di sana. Wajah yang sebenarnya tidak begitu lama dikenalnya, namun begitu lekat di hatinya.

“Bagaimana kamu bisa dapat anak itu?” tanya om Yanuar.

“Begini om ceriteranya .... ! Eeehh ... sepertinya kita tidak enak ngomong sambil berdiri disini. Kita ngomong di rumah saya saja om, kebetulan saya tinggal di rumah dinas dokter Puskesmas. Itu tuh rumah yang ada di seberang jalan sana.

“Dengan senang hati”, sahut om Murdi.

*****

Rumah dinas dokter Puskesmas yang mungil dan indah. Suasananya sungguh asri. Bermacam jenis tanaman apotek hidup tumbuh dengan subur di halamannya, terpelihara dengan baik, pagar-pagar yang artistik juga menghiasi sekeliling tanaman apotek hidup tersebut. Berbagai jenis bunga juga bermekaran di samping kiri dan kanan rumah, didominasi warna merah dan kuning sangat serasi dengan warna cat rumah yang berwarna hijau mandarin.

*****


Om Murdi melepaskan sepatu boot yang dipakainya dan meletakkannya di teras rumah. Dia mengikuti Lyra Auradianty yang mengajaknya memasuki rumah.

“Silahkan ... duduk ya om, Lyra mau ke belakang sebentar” kata Lyra Auradianty mempersilahkan om Murdi untuk duduk di kursi tamu.

“Terima kasih” jawab om Murdi.

*****

Om Murdi memperhatikan sekeliling dinding ruang tamu. Bermacam-macam foto tergantung di situ dengan pigura yang indah. Ada beberapa foto almarhun Yanuar bersama Lyra yang saling menyuapi dengan mimik wajah lucu, foto almarhum Yanuar ketika praktek alat berat, foto almarhun Yanuar bersama teman-temannya ketika di wisuda, ada foto almarhum Yanuar ketika dimasukkan ke liang lahat. Ada juga foto Lyra Auradianty bersama keluarganya, foto Lyra sebagai dokter sedang melakukan pengobatan gratis dan foto Lyra Auradianty bersama dengan seorang anak lelaki kecil yang wajahnya benar-benar mirip dengan wajah almarhum Yanuar.

Om Murdi beranjak dari tempat duduknya berjalan mendekati foto Lyra Auradianty bersama anak lelaki kecil yang wajahnya mirip almarhum Yanuar. Om Murdi dengan serius memperhatikan wajah anak lelaki kecil itu.

“Subhanallah ... betul-betul mirip sekali, miriiiipppp sekali ... wajah anak ini dengan wajah almarhum Yanuar”, desah om Murdi.

“Yang itu om .... anak kecil yang akan saya ceriterakan nanti” suara Lyra Auradianty yang mengejutkan om Murdi

“Eh ... iya ... ya ... ya, maaf ... kalau om tidak sopan memperhatikan foto-foto di dinding ini, om senang dan suka sekali melihatnya.

“Tidak apa-apa, foto-foto kenangan om, ini ... minum dulu om.”

“Terima kasih, nggak usah repot-repot Lyra” kata om Murdi sambil kembali ke tempat duduknya.

“Udaranya sangat panas ya om”.

“Iya, memang sekarang musim kemarau, padahal musim kemaraunya masih panjang lho Lyra”.

“Begitu ya om. Sekarang ini banyak pasien di Puskesmas yang keluhannya ISPA”

“Memang, karena selain udara yang panas juga asap yang pekat menyelimuti wilayah sekitar sini” kata om Murdi sambil mengirup teh yang disajikan Lyra Auradianty.

“Boleh ... saya merokok, karena sambil merokok saya akan lebih asyik mendengarkan ceritera bagaimana Lyra menemukan anak lelaki yang wajahnya mirip sekali dengan wajah almarhum Yanuar”, lanjut om Murdi.

“Silahkan om kalau mau merokok sambil mendengarkan ceritera saya” kata Lyra Auradianty dengan senyum manis di tambah lekukan lesung pipit di pipinya yang putih kemerahan.

*****

“Begini om ... !” Lyra Auradianty memulainya ceritera pertemuannya dengan anak lelaki yang wajahnya mirip dengan almarhun Yanuar:

Di suatu sore 2 tahun yang lalu, saya baru pulang dari rumah pasien yang terserang kolera. Saya duduk diboncengan sepeda pancal yang dikendarai oleh suami dari pasien yang terserang kolera tersebut.

Di jalanan yang melintasi area rawa di mana banyak pohon-pohon galam, saya melihat seorang anak lelaki mengayuh perahu yang di dalamnya dimuati dengan potongan-potongan kayu kecil yang biasanya digunakan sebagai kayu bakar oleh penduduk di sini. Anak itu lelaki itu badannya begitu ringkih, raut wajahnya memperlihatkan perjuangan hidup yang berat yang harus dihadapinya. Dia menyusur sungai-sungai kecil yang berkelok diantara pepohonan kayu galam. Topi di kepalanya menutupi sebagian wajah lugunya. Saya terus memperhatikan anak lelaki itu sampai dia menghilang di sebuah tikungan sungai.

Di hari-hari berikutnya ketika saya pulang dari memeriksa pasien-pasien saya yang lain, kembali saya melihat anak itu dengan aktivitasnya yang sama. Saya jadi penasaran siapa sih anak itu? Kasihan .... ! Dia selalu sendirian mengayuh perahunya. Dimana orang tuanya, ataukah orang tuanya sudah tidak ada lagi?

Pada suatu kesempatan yang saya anggap tepat, saya tunggu anak itu di pinggir sungai di sela-sela pepohonan rumpun bambu yang rindang.

Benar ! Anak lelaki kecil yang ringkih itu kembali menyusur sungai dengan perahunya. Saya lambaikan tangan saya dan saya perlihatkan wajah saya seramah mungkin agar anak tersebut bersedia menghampiri saya. Berkali-kali saya lambaikan tangan. Anak tersebut nanar memperhatikan saya dari kejauhan, nampaknya dia ragu dan agak ketakutan. Saya terus melambaikan tangan. Rupanya wajah saya yang telah saya buat seramah mungkin dapat mencairkan keraguan dan ketakutannya. Pelan, sedikit demi sedikit anak itu mulai mengarahkan perahunya ke tempat saya berdiri dan akhirnya dia sampai di bibir sungai.

*****

“Assamualaikum ....?! ucapku memberi salam.

“Wa alaikum salam!” jawab anak itu pendek.

Aku mulai mengatur strategi pembicaraan agar anak itu merasa akrab denganku.

“Mari kita salaman dulu nak” kataku.

Anak itu beranjak dari perahunya, menaiki tepian, mendekatiku dan menyambut uluran tanganku untuk bersalaman. Telapak tangan anak itu terasa keras dan kasar, menandakan dia sudah bekerja berat.

“Nama ibu ... Lyra Auradianty, ibu bekerja sebagai dokter di Puskesmas yang ada di desa ini” kataku memperkenalkan diri.

“Nama kamu siapa?” lanjutku

“Annur Syifa, bu, biasa dipanggil Annur” anak itu menyebut namanya dengan wajah yang menunduk.

“Nama yang indah, panggilan pendeknya juga indah” aku memujinya. “Kamu sering mengitari sungai yang banyak pohon galam ini ya ? aku melanjutkan.

“Iya bu dokter”

“Kamu tidak takut sendirian berkeliling begitu?”

“Tidak bu dokter, Annur sudah biasa di lingkungan sekitar sini”

“Sejak pagi sampai sore kamu berkeliling disini”

“Iya bu dokter.”

“Kamu tidak sekolah Annur?”

Annur terdiam, wajahnya tetap tertunduk, tangannya meremas jari-jemarinya.

“Kamu tidak sekolah Annur?” Aku mengulangi pertanyaanku.

“Iya bu dokter” suaranya pelan dan bergetar. “Dulu Annur sekolah sampai kelas dua SD tapi sekarang Annur sudah tidak sekolah lagi”.

“Kenapa tidak sekolah lagi?”

“Karena Annur sekarang harus membantu ibu mencari kayu bakar untuk dijual, sekarang ibu sedang hamil jadi Annur sendiri saja mencari kayu bakar itu bu dokter.”

“Bapak kamu?”

“Bapak baru enam bulan yang lalu meninggal bu dokter, kata ibu terserang penyakit malaria.”

Yaa ... Allah. Aku kaget bagaikan disambar petir.

Kepala Annur semakin tertunduk, wajahnya menatap tanah. Aku merendahkan tubuhku, kupandangi wajah Annur, terlihat matanya berkaca-kaca, hidungnya memerah, kemudian terlihat tetesan air mata di pipinya, wajahnya terlihat kuyu.

Aku terdiam. Dengan sentuhan pelan kupegang kedua sisi bahu Annur. Aku ingin memberi kekuatan batin pada Annur.

“Maafkan bu dokter yah, bu dokter telah mengusik kesedihan Annur” ku ucapkan kata-kata dengan setengah berbisik.

Annur hanya menggelengkan kepalanya.

“Annur punya saudara kan .... ? kataku

Annur kembali menggelengkan kepalanya.

“Kalau tidak punya saudara berarti Annur anak satu-satunya?”

Annur menganggukkan kepalanya.

Aku mengambil sapu tangan dari dalam tasku, kuseka airmata Annur yang telah membasahi pipinya.

“Kamu anak hebat Annur, bu dokter bangga, kamu berjuang untuk membantu ibumu”

“Annur kasihan dengan ibu, Annur sayang dengan ibu.” Kembali Annur berurai airmata, tangannya gemetar dan tubuhnya berguncang

Kupeluk tubuh Annur seperti memeluk anak yang sudah kukenal lama. Kurasakan tubuhnya semakin berguncang. Aku ikut terlarut dalam kesedihan Annur. Kubiarkan Annur untuk beberapa saat mencurahkan segala kesedihannya.

*****

“Bu dokter ikut berdukacita atas meninggalnya bapakmu ....!”

“Terima kasih bu dokter”, suara Annur pelan hampir tak terdengar.

“Annur ... bapakmu tentu sangat bahagia karena kamu mengasihani, menyayangi dan membantu ibumu, Annur anak yang baik, anak yang berbakti, anak yang penuh tanggung jawab, namun sebaliknya bapakmu akan sangat sedih apabila Annur terus bersedih.

“Iya bu dokter,” kata Annur sambil menganggukkan kepalanya.

Tetesan airmata di pipi Annur sudah mulai mengering dan kesedihannya sudah mulai mereda.

“Annur ... bolehkan bu dokter ikut dengan Annur bertandang ke rumahmu hari ini?

Annur menganggukkan kepalanya.

*****

Langit biru dengan sapuan sinar matahari berwarna ungu berbiaskan putih keperak-perakan. Di sana-sini gumpulan awan-awan putih berarak menghiasai angkasa bagaikan memayungi semua makhluk di bumi.

Perahu yang dikayuh Annur melintas dengan pelan dikerimbunan pepohonan kayu galam. Annur sangat lincah mengendalikan perahunya, menyusur sungai dengan tenang, berbelok-belok mengikuti alur yang berliku-liku, merambah tumbuhan eceng gondok, menembus semal-semak tumbuhan purun.

Aku merenung ... inikah medan perjuangan Annur? Inikah hari-hari kehidupan Annur? Disinikah dia belajar tentang arti kehidupan? Di saat teman-teman seusianya bermain dengan ceria, di tempat sepi dan sunyi ini dia berkutat membanting tulang demi baktinya terhadap bundanya.

Kupandangi Annur , tangannya yang kecil sibuk dengan kayuhnya, matanya tajam menatap alur sungai di depan. Bunyi gemeretuk kayuh yang beradu dengan dinding perahu berirama bagaikan iringan ketukan langkah-langkah kehidupan manusia.

***bersambung***

Posting Komentar

0 Komentar