Ditulis oleh: Hairiyadi
Mataku sangat mengantuk sekali, celoteh teman-teman sedikit demi sedikit mulai terdengar sayup-sayup di telingaku dan akhirnya menghilang, aku tidak tahu lagi berapa lama aku ketiduran. Rupanya terlalu duduk di lama mobil dengan terpaan angin yang masuk lewat jendela membuat diriku merasa lelah dan secara alami mengantarku ke dunia mimpi.
Aku terkejut ketika terasa ada suara dan tepukan tangan di pundakku, “He Dud !, yuk bangun”. Aku terbangun dan mencoba membuka mata, pandanganku masih kabur, terlihat Dany sudah duduk di depan pintu mobil. Aku membetulkan posisi badanku yang tadinya miring tersandar di dinding mobil. Setelah pandanganku jelas, aku bertanya pada Dany. “Dan, kita sudah sampai di tempat tujuan ya”, tanyaku. Dany memberitahu, “belum nih, kita sekarang baru sampai di Pulau Pinang, yah kira-kira separo perjalanan lah, ayo kita turun mengisi perut dulu untuk mempersiapkan fisik melanjutkan perjalanan berikutnya. Aku memandang ke sekeliling mobil, ternyata teman-teman sudah pada ke luar yang masih tertinggal cuma aku dan Dany. “Ayo Dud, cepetan dikit nanti keburu teman-teman pada sudah selesai makan dan mobil berangkat lagi, celaka kita, bisa-bisa kita ambruk di tengah perjalanan nanti karena kelaparan”, kata Dany sambil menarik tanganku. Aku mengikuti ajakan Dany, langkahku terasa berat, maklum karena baru bangun dari tidur. Berdua dengan Dany, kami menuju tempat mencuci tangan dan muka yang terletak di samping warung makan. Setelah terasa segar karena siraman air yang dingin, aku duduk di sebuah bangku kecil sambil menunggu Dany yang menyempatkan diri untuk buang air kecil di wc belakang warung. Setelah Dany menyelesaikan tugasnya buang air kecil, kami bersama-sama menuju ke dalam warung bergabung dengan teman-teman yang sudah dengan lahapnya menyantap makanan pesanan masing-masing.
Aku dan Dany pun memesan makanan. Tidak terlalu lama pesanan pun datang. Tengah asyik menyantap makanan, tiba-tiba, entah kapan datangnya sudah nongkrong di seberang meja kami, si Astri, mahasiswi yang menjadi sekretaris kegiatan praktek kuliah lapangan, langsung saja Astri nyerocos, “Dudy, kamu beruntung hari ini”. “Memang kenapa”, tanyaku dalam kebingungan. “Begini, waktu kamu tidur, kami udah punya rencana melempar kamu ke pinggir jalan, karena tidur kamu tuh lasak sekali, rebah ke kiri, rebah ke kanan, membuat teman-teman yang duduk bersebelahan dengan kamu menjadi terganggu” , jelas kita kepada Dudy, “Ah masa”, kataku. “Tuh ! tanya sama Dany, betul apa tidak”, sambil tangan Astri memandang Dany.
Aku terus saja menyantap makananku, sudah tidak tahu lagi apa saja yang diocehkan si Astri, mahasiswa yang terkenal tukang bawel di angkatanku. Selesai makan, aku bertanya pada pada Astri, “As, dosen idolaku dimana ya, koq tidak kelihatan sejak aku turun dAry mobil tadi”. Siapa maksud kamu Dud”, Astri balik bertanya kepadaku. “Ya, siapa lagi lah kalau bukan dosen pembimbing praktek kuliah lapangan kita ini”, kataku. “Ooo ! pak Ary, itu tuh nongkrong di warung kecil di seberang jalan”, sambil jAry Astri menunjuk warung yang dimaksud. “Nah ! sekarang sebagai hukuman atas niat kamu bersama teman-teman mau melempar aku ke pinggir jalan maka kamu harus membayar makananku dan makanan Dany”, suaraku dibuat memelas. “Hah ! dasar kamu Dud, tapi tidak apa-apa, aku akan bayarkan semua makanan kalian. “Nah, gitu tuan puteri, ini namanya tuan puteri Cinderella yang dermawan”, pujiku kepada Astri. Kami tertawa. “Tapi ! ada syaratnya, kalian harus bantu aku di perjalanan nanti”, timpal Astri. “Siap tuan puteri”, sahutku secara bersamaan dengan Dany. “Oke, tuan puteri, hamba mohon diri dulu untuk menyusul pak Ary”, sambil aku berjalan menyeberang jalan menyusul pak Ary.
Secangkir kopi pahit dan pisang goreng menemani pak Ary yang sedang nongkrong di warung kecil, dengan santainya pak Ary duduk di bangku warung paling pojok. Aku menyapa pak Ary, “wah pak Ary lagi santai ya”. Pak Ary menoleh sambil membalas sapaanku, Hai, kamu Dudy, mari sama-sama ngopi yu”. Aku mengucapkan terima kasih atas ajakan pak Ary. “Pak”, kataku, “bapak sudah makan atau belum”. “Kebetulan bapak masih kenyang, jadi untuk saat ini cukup makanan ringan saja, bapak sudah pesan makanan yang dibungkus untuk dimakan di tengah perjalanan berikutnya”. jawab pak Ary. “Ooo, begitu pak”, kataku dilanjutkan dengan pertanyaan kepada Ary, “Pak, berapa lama lagi perjalanan kita”. “Insya Alah, kalau tidak ada hambatan apa-apa kita akan sampai kira-kira satu setengah jam lagi di tempat mana mobil-mobil angkutan kita ini nanti tidak bisa masuk melanjutkan mengantar kita, selanjutnya kita meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki merambah alam pegunungan Meratus yang ditingkahi dengan sungai-sungai dan hutan-hutan tropik”, kata pak Ary. “Kondisi jalannya bagaimana pak”, kataku melanjutkan pertanyaan. “Jalannya jalan setapak, kebetulan sekarang ini musim hujan maka sudah dapat diperkirakan kondisi jalannya licin dan air sungai yang nanti akan banyak kita temui cukup dalam”, jelas pak Ary. “Okey, bagaimana Dud, kita siap” kata pak sambil memandangku. “Siap pak”, kataku.
Pak Ary menghabiskan sisa kopi dan pisang gorengnya, kemudian setelah membayarnya kepada pemilik warung, pak Ary berdiri dan menyuruh aku untuk memberitahu teman-teman agar segera berangkat melanjutkan perjalanan kembali.
Rombongan pun berangkat kembali, sekitar satu jam mobil-mobil rombongan kami mulai menempuh perjalanan pegunungan yang turun-naik, jurang-jurang yang menganga di kiri-kanan jalan, tikungan-tikungan yang tajam, jalanannya pun sempit, namun demikian, masya Allah, aduhai, pemandangan alamnya sungguh menakjudkan, sungguh memukau, aku berdecak kagum, bagaimana tidak berdecak kagum, jejeran pegunungan dengan punggungnya yang menghijau yang sungguh kontras dengan latar awan yang putih biru, terlihat olehku jalan di depan yang akan dilalui mobil bagaikan juluran ular yang berliku, udara yang sejuk menambah suasana keindahan yang kurasakan. Sesaat aku memejamkan mata dan mendekapkan kedua tanganku di dadaku seraya mengucap lirih, “Terima kasih ya Allah, paduka telah menganugerahkan alam yang indah kepada kami dan kami sekarang dapat menikmatinya”.
Benar kata pak Ary, kira-kira setengah jam kemudian kami sudah tiba di mana mobil-mobil tidak bisa melanjutkan mengantar kami karena jalan menuju lokasi kegiatan praktek kuliah lapangan tidak bisa dilalui oleh kenderaan bermotor roda empat. Ketika mobil-mobil rombongan kami berhenti, aku melihat pak Ary sudah berdiri berdiri di pinggir jalan dengan ransel menempel di punggungnya, sambil mengisap rokok kesayangannya, pak Ary menunggu kami turun dari mobil dengan perlengkapan kami masing-masing. Aku bersama Dany, Astri dan ketua rombongan yang bernama Rony menyusul pak Ary . Pak Ary meminta agar Rony agar mengumpulkan teman-temannya untuk segera mendengarkan pengarahan oleh pak Ary.
“Sekarang waktu disini sudah menunjukan pukul 3, perjalanan berikut yang akan kalian tempuh membutuhkan waktu sekitar 4 jam jalan kaki untuk sampai di lokasi praktek, di depan kita adalah jalan yang akan kita lalui, jalannya jalan setapak dengan rimbunan hutan-hutan, di beberapa ruas jalan kita menyeberangi sungai-sungai dengan air yang cukup dalam, cukup lebar dan cukup deras arusnya, begitu kata pak Ary dalam pengarahannya. Selanjutnya pak Ary berkata, “dalam perjalanan yang cukup jauh ini, ditambah dengan medan yang sulit maka bapak berharap kalian selalu menjaga kebersamaan dalam perjalanan, jangan terlalu banyak mengeluh bagaikan anak kecil yang cengeng, berusahalah untuk selalu tetap semangat, saling membantu sangat diperlukan dalam perjalanan kita ini”. “Kalian dapat mengerti apa yang bapak maksudkan”, tanya pak Ary. “Mengerti pak”, jawab kami serempak. “Ada yang ingin bertanya”, pak Ary memandangi kami. “Sudah cukup pak”, kami menyahut beramai-ramai. “Oke, kalau begitu mari kita mulai menempuh pegunungan berhutan ini”, ajak pak Ary dengan menyuruh aku bersama Dany dan Astri berada di posisi paling depan.
Perjalanan menempuh perjalanan yang sulit sudah kami mulai, gunung demi gunung, bukit demi bukit kami daki, jurang-jurang kami turuni, hutan demi hutan kami rambah, dan sungai demi sungai kami seberangi. Awan hitam mengiringi perjalanan kami pertanda hujan akan segera turun dari langit, angin pun bertiup kencang, dan benar hujan pun turun dengan derasnya. Dalam suasana hujan yang terasa dingin, aku ingat pak Ary, apakah pak Ary membawa perlengkapan jas hujan ataukah pak Ary basah kuyup dan kedinginan di tengah perjalanan. Aku meminta Dany dan Astri berhenti berjalan sesaat, kemudian aku berkata pada Dany dan Astri, “Dany dan juga kamu Astri, silahkan kamu terus berada di posisi depan, aku akan menunggu pak Ary, kasihan pak Ary”, “Tapi kan masih banyak mahasiswa lainnya di belakang kita, mungkin pak Ary dalam kelompok mahasiswa itu”, kata Astri. “Ya, mungkin saja, tapi saat ini aku ingin berjalan bersama-sama pak Ary dalam hujan dan dingin”, kataku. “Baiklah, silahkan Dudy menunggu pak Ary, kami sangat setuju, kami mohon pamit untuk duluan ya”, kata Dany dan Astri. “Oke, silahkan”, jawabku.
Aku duduk di pinggir jalan sambil berhujan menunggu pak Ary. Kuambil minuman dingin dari dalam ranselku, kutuangkan ke mulutku dengan derasnya, ahhh, segarnya terasa rasa hausku berkurang. Lama aku menungggu, dari kejauhan nampak sekelompok mahasiswa sedang berjalan beriringan dengan langkah berat karena kapayahan, mereka semakin dekat dan akhirnya berhenti di depanku,mereka juga mengeluarkan minuman yang dibawanya, aku memperhatikan temam-temanku yang sambil minum sambil mengatur napasnya yang turun-naik. Aku bertanya, “hai, kalian melihat pak Ary ?” Oouu, pak Ary berada di paling belakang bersama dengan Rony”, sahut si Anis, seorang mahasiswi yang bertubuh mungil. “Ada apa ya”, tanya Anis kepadaku. “Aku ingin menunggunya”, kataku. “Kalau begitu, kami duluan ya” kata Anis. “Silahkan”, jawabku.
Kelompok demi kelompok mahasiswa telah melewatiku, aku masih menunggu. Alhamdulillah, samar-samar ditengah kaburnya pandangan karena dihalangi oleh guyuan air hujan, nampak pak Ary berjalan beriringan dengan Rony, sang ketua rombongan, tanpa jas hujan, rasa kekhawatiranku akan kondisi pak Ary di tengah perjalanan dengan guyuran air hujan yang deras menjadi sirna, pak Ary nampak masih gagah, masih semangat, dan sambil ngobrol panjang lebar dengan Rony. “Eeh, kamu Dudy, kecapaian ya”, tegur pak Ary. “Masih fit”, kataku. “Ayo, kita lanjutkan perjalanan menyusul kelompok-kelompok mahasiswa yang di depan”, ajak pak Ary. “Siap pak”, jawabku.
Sekitar pkl 7 malam, aku, Rony dan pak Aryo sudah memasuki pinggiran desa yang menjadi lokasi praktek kuliah lapangan, badan kami basah kuyup dan kotor penuh lumpur. Aku merasa sangat dingin sekali, pada sebuah rumah yang terletak di pinggiran desa yang kami lalui, aku minta ijin pada Pak Aryo dan Rony untuk berhenti sejenak. “Kenapa harus berhenti di sini, itu tuh Balai Adat Baringan tempat kita akan menginap sudah kelihatan dari sini, artinya sudah dekat sekali”, kata kata pak Aryo dan Rony. “Tidak apa-apa pak, silahkan pak Ary dan Rony duluan, saya ingin istirahat sebentar pak”, jawabku. “Tapi rumah ini kosong, lebih baik kita langsung masuk ke Balai Adat saja”, ajak Rony. “Tidak Ron, aku pengin istirahat disini saja dulu sebelum masuk ke Balai Adat.
Aku merasa sangat lelah sekali, tubuhku dingin, sendi-sendi terasa penat dan kakiku terasa berat sekali untuk dilangkahkan. Aku duduk di pelataran, sambil melepaskan ransel dari punggungku, aku mengatur nafas, ku ambil air dingin dari botol dan kuminum, kunyalakan sebatang rokok. Aku bersandar pada dinding rumah sambil menghembuskan asap-asap rokok yang telah kuhisap. Di tengah kepenatanku, terdengar suara derit pintu yang dibuka. Aku kaget, sembari membetulkan posisi dudukku aku menoleh ke arah pintu yang mulai terbuka. Eeeh, seorang gadis muncul dengan memegang lampu templok di tangannya. Sang gadis kaget ketika melihatku. “Eeeiii, ada orangnya ya”, katanya. “Mohon maaf, saya numpang istirahat di sini, lelah sekali”, kataku. “Kenapa istirahat di luar, tambah dingin nanti, masuk saja ke dalam, tidak apa-apa” ajak sang gadis. “Di sini juga masih bisa beristirahat”, kataku. Kulihat di belakang sang gadis telah berdiri seorang wanita separo baya yang juga mengajak aku beristirahat di dalam rumahnya. “Ayo nak, masuk saja ke dalam”, pintanya. Aku bangkit dari tempat duduk dan masuk ke dalam rumah. “Silahkan duduk” kata wanita separo baya tadi. Aku pun duduk sambil melonjorkan kaki yang terasa kaku.Kedua wanita bergegas masuk ke dalam, sesaat kemudian sang gadis menyuguhkan teh manis hangat di hadapanku. “Tidak usah repot-repot, diizinkan istirahat disini saja, saya sudah sangat terima kasih”, kataku. “Aaaah, tidak merepotkan nak, cuma ini yang dapat kami suguhkan”, kata sang wanita paro baya. “Silahkan diminum kak, biar badan kakak menjadi hangat”, sang gadis mempersilahkan aku meminum teh manis hangat yang disuguhkannya. “Terima kasih”, kataku sambil meminum teh yang disuguhkan. Ruangan dalam rumah agak temaram karena cuma disinari oleh lampu templok. Di sela-sela ketemaraman agak mencoba mecuri-curi pandang wajah sang gadis. Gadis yang cantik, rambut sebatas pundak dan berkulit putih, profil khas wanita pegunungan Meratus. Hatiku berkata, kecantikannya tidak kalah dengan gadis-gadis kota yang sering kulihat, keramahan, kesantunannya, bisa disandingkan dengan gadis terpelajar, mata yang indah, senyum yang selalu tersungging dari bibirnya yang indah, amboi, bukan main. Eeeeiit, rupanya sang gadis juga mencoba mencuri-curi pandang ke arahku, aku tidak tahu bagaimana penilaian dalam hatinya terhadap aku, si Dudy mahasiswa yang terkenal pemalu di kampus. Suasana sunyi sesaat. Aku mencoba memecah kesunyian dengan memulai lagi pembicaraa. “Ibu dan adik ini, apakah penduduk asli di sini”, tanyaku. “Ya, benar, kami memang penduduk asli di sini”, jawab mereka. “Lalu, adik ini apa hubungan dengan ibu”, tanyaku lagi. “Ooooouu, ini anak ibu satu-satunya”, kata sang wanita paro baya. Aku terus bertanya, “lalu, bapak mana bu ?”. “Bapak telah meninggal beberapa tahun yang lalu”, si gadis yang menyahut. “Aduh, maaf”, kataku. “Tidak apa-apa, toh setiap manusia juga mengalami hal yang sama dengan bapak si Maisi ini”, timpal sang ibu. “Ouuuu, rupanya nama sang gadis yang cantik dan ayu ini adalah Maisi”, kataku hanya dalam hati. “Bu, mohon maaf, saya ini berniat untuk membersihkan diri dulu sebelum menyusul teman-teman dan bapak dosen pembimbing saya yang telah duluan masuk ke dalam Balai Adat”, kataku. “Dimana ya bu, tempat sungai untuk mandi” tanyaku berlanjut. “Ada, di seberang jalan yang dilalui kakak tadi”, terdengar sahutan suara Maisi yang terdengar merdu olehku, “kalau kakak ingin ke sungai, Maisi bersedia mengantarkan kakak ke sungai itu”, lanjut Maisi masih dengan suara yang merdu. “Iya”, kata ibunya Maisi“, biar nanti Maisi yang mengantar adik ke sungai”. “Duh, berbunga-bunga rasanya hatiku, seorang gadis cantik dan ayu bersedia mengantar aku ke sungai, amboi !
Maisi mengambil senter dan payung dan bersiap untuk mengantar aku mandi ke sungai. Di luar hujan mulai reda, namun masih meninggalkan gerimis, di sana-sini gelap, maklum lah di pegunungan yang berhutan seperti di sini listrik belum bisa dinikmati oleh penduduknya. “Ayo kak”, kata Maisi, “saya antar kakak ke sungai biar bisa mandi sepuasnya di sana”.
Maisi berjalan di depan dan saya mengikuti di belakangnya. Dalam perjalanan ke sungai aku lebih leluasa memandang Maisi, bentuk tubuh ramping yang indah, sexy dan tinggi badan yang semampai. Aku bertanya kepada Maisi: “Maisi apakah kamu pernah sekolah”. Pernah kak, tapi cuma sampai tamat SD”, sahut Maisi. “Terus, kenapa tidak melanjutkan ke SMP”, kataku. “Terlalu jauh kak, kemudian biayanya juga tidak mendukung untuk Maisi meneruskan pendidikan”, suara Maisi terdengar pelan. “Sebenarnya Maisi pengin sekali bisa melanjutkan sekolah, tapi kesulitan yang dihadapi terlalu berat, kami cuma petani yang miskin kak”, lanjut Maisi. “Sekarang ini apa kegiatanmu Maisi”, sergahku. “Membantu ibu bekerja di ladang, kak”, suara Maisi masih terdengar pelan. Ada rasa iba bercampur haru di hatiku. “Kakak beruntung, tinggal di perkotaan dan mampu melanjutkan pendidikan”, Maisi melanjutkan perkataannya.
Ucapan Maisi membuat perasaan hatiku lebih mengharu-biru. Dalam hati aku berkata bahwa Maisi hanyalah salah satu anak-anak gadis di daerah pedalaman yang mempunyai keinginan untuk bisa menempuh pendidikan yang lebih tinggi namun kondisi ekonomilah yang menjadi salah satu kendala yang membuyarkan harapan dan impian mereka untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi tersebut. Aku yakin, masih lagi Maisi-Maisi yang lain yang mengalami nasib yang sama dengan Maisi yang sekarang ini sedang mengantarku ke sungai.
Jalan menuju ke sungai sangat sempit dan licin, di kiri dan kanannya rindang dengan tanaman karet, pada lahan-lahan tertentu terdapat tanaman sayuran dan buah-buahan seperti, cabe, singkong, kacang tanah, kacang panjang, pisang dan cempedak.
Pada sebuah turunan jalan yang cukup dalam aku terpelesat dan jatuh terduduk. Maisi berteriak kecil, “hai, hati-hati kak, jalannya licin”, sambil mengulurkan tangannya ke tanganku untuk menarikku agar bisa berdiri. Dengan bantuan tarikan tangan Maisi aku akhirnya bisa berdiri. Ketika itulah aku dan Maisi saling beradu pandang, kami sesaat sama-sama terdiam, tetapi kemudian suasana itu dibuyarkan oleh suara Maisi, “tidak apa-apa kan kak”. “Tidak apa-apa, terima kasih”, jawabku.
Tidak berapa lama sampailah kami di sungai yang di tuju. Untuk sampai di bibir sungai, aku harus menuruni tebing yang dalam, ternyata bibir sungainya berupa hamparan batu-batu kerikil. Suasana gelap. Maisi menunggu berdiri jauh di atas tebing. Aku pun mandi membersihkan diri, airnya yang sangat dingin serasa membuat tubuhku membeku, aku menggigil, aku tidak sanggup berlama-lama karena bertambah dingin saja rasanya air yang membasahi tubuhku. Sambil mengeringkan tubuhku dengan handuk, aku berjalan menaiki tebing untuk menyusul Maisi yang masih menunggu.
“Gimana, dingin yang kak”, kata Maisi, sambutan sapaannya kepadaku. “Yah, dingin sekali”, sahutku, “yuk ! kita pulang”, ajakku kepada Maisi. “Air di sini sangat bersih”, kataku kepada Maisi. “Yah, begitulah, namanya juga air di pegunungan”, begitu jawab Maisi. “Berbeda sekali dengan air sungai yang berada di tempatku, kotor karena setiap hari menjadi tempat pembuangan sampah”, kataku. “Kak !, kakak sukakah dengan singkong yang direbus”, Maisi menyela pembicaraanku. “Wah !, suka sekali”, jawabku.
Di tengah perjalanan yang kami lalui, kami berhenti pada lahan tanaman singkong. Maisi menunjukkan kepadaku pohon-pohon singkong yang bisa dicabut. Aku pun mencoba mencabut salah satu pohon yang ditunjukkan Maisi. Aku berusaha mencabut, tetapi tidak bisa tercabut, kucoba lagi mencabutnya dengan sekuat tenaga, waduh, belum tercabut juga. Melihat aku tidak mampu mencabut pohon singkong tersebut, Maisi mendekati dan membantu aku mencabutnya. Berdua kami berusaha mencabutnya kembali. “Yuk, kak, kita cabut kuat-kuat”, kata Maisi. “Yuk, kita mulai dengan hitungan”, kataku juga. “Satu, dua, tiga”, kami menghitung bersama-sama. “Braaak”, terdengar suara pohon yang tercabut, tapi, aaaahhhhh, bersamaan dengan tercabutnya pohon singkong tercabut, kami pun terjengkang ke belakang, aku tertelentang, Maisi juga tertelentang, Aku berusaha untuk duduk, Maisi pun begitu juga. Sambil sama-sama membersihkan tanah yang menempel di pakaian kami, aku dan Maisi sama-sama tertawa. “Lucu ya kak”, kata Maisi. “He eh”, jawabku sambil tanganku memegang tangan Maisi. “Tanganmu tidak apa-apa kan Maisi”, kataku lagi. Entah mengapa, ada perasaan, aku tidak mau tangan Maisi terluka, aku tidak mau Maisi merasakan kesakitan. Terasa dingin tangan dan jari-jemari Maisi. “Tidak apa-apa kak”, jawab Maisi, sambil tangannya memegang dan memperhatikan tanganku. “Tangan kakak juga tidak apa-apa kan”, tanya Maisi sambil matanya memandangku seolah-olah meminta kepastian bahwa tidak terjadi apa-apa dengan aku. Dengan saling berpegangan tangan kami pun saling membantu untuk bangkit berdiri.
Di rumah Maisi aku merapikan diri dan bersiap untuk menuju Balai Adat di mana rombongan praktek kuliah lapangan kami menginap. Aku pun mengucapkan terima kasih atas keramah-tamahan Maisi dan juga ibunya. “Bu, saya mohon maaf kepada ibu dan juga Maisi karena lupa mengenalkan nama saya”, kataku, “ooh, iya, kamu belum memberitahu namamu”, sahut ibu Maisi sambil tersenyum, “siapa namamu”, lanjutnya. “Nama saya, Dudy, bu”, jawabku. Oh, iya, nak Dudy”, kata ibu Maisi. “Bu, saya, Dudy, mohon pamit untuk menyusul teman-teman dan dosen pembimbing saya yang sekarang sudah berada di Balai Adat”, kataku sambil membungkukkan diri kepada ibu Maisi. “Ya, silahkan nak Dudy, kami juga nanti akan di sana dan sekalian menginap di Balai Adat, karena kebiasaan kami kalau ada tamu yang berkunjung dan ingin bertemu dengan penduduk di sini, kami akan menyambutnya di Balai Adat dan menemaninya sambil juga menginap di Balai Adat itu”. “Ooh, begitu, dengan senang hati bisa kumpul bareng di Balai Adat”, kataku. Aku pun melangkahkan kaki untuk turun dari rumah Maisi, sesampai di pelataran, Maisi dan ibunya mengantarku sambil berkata, “nak Dudy, nanti singkong yang dibawa nak Dudy akan ibu rebus dan diantar ke Balai Adat. “Waduh, ibu, Dudy jadinya sangat merepotkan ibu”, katanya. “Aaahh, tidak juga nak Dudy”, kata ibu Maisi
Belum beberapa alangkah aku berjalan terdengar suara memanggil di belakangku, walaupun dalam kegelapan, aku sangat mengenali suara itu, ya, suara yang sudah mulai akrab kudengar, itu suara Maisi, kataku dalam hati. “Kak Dudy, kak Dudy, tunggu Maisi kak”. Aku menghentikan langkahku, benar pendengaranku yang memanggilku adalah Maisi. “Ada apa Maisi”, kataku ketika kami sudah saling berhadapan. “A,a,, .. anu kak, boleh Maisi ikut bersama-sama kak Dudy pergi ke Balai Adat”, kata Maisi. Hatiku mendadak menjadi gembira dan sangat senang. Maisi, Maisi, kamu gadis yang sangat cantik, alangkah bahagianya aku, kamu selalu bersedia menemani aku, kataku dalam hati. “O, ya, kak Dudy sangat senang ditemani Maisi, tapi apakah Maisi sudah meminta ijin ke sini untuk menyusul kak Dudy”, kataku. “Iya kak, Maisi sudah meminta ijin ibu untuk menyusul kak Dudy, Maisi tidak akan berani menyusul kak Dudy kalau mendapat ijin dari ibu”, kata Maisi. Di perjalanan Maisi menceriterakan bahwa bahwa kampungnya sangat jarang dikunjungi orang luar karena tempatnya yang sangat terpencil, jauh di pedalaman pegunungan Meratus, jalan setapak yang tidak bisa dilalui kenderaan bermotor, terkecuali dengan berjalan kaki ditambah lagi dengan banyaknya sungai yang belum mempunyai jembatan. Selain itu, Maisi juga menceriterakan, di kampungnya ini rata-rata kawin dalam usia yang sangat muda, kalau seperti kak Dudy ini kata Maisi, di kampung ini pasti sudah beristri. Aku tersenyum. Kalau seperti Maisi ini, anaknya sudah berapa kataku sambil terus tersenyum, pasti sudah empat orang kataku tanpa menunggu jawaban Maisi. Aku berhenti, Maisi juga menghentikan langkahku, sembari aku bertanya pada Maisi, “Eh, Maisi, kamu sudah bersuami atau belum”, “Belum kak”, jawab Maisi. “Kenapa belum bersuami”, tanyaku lagi. “Tidak laku, karena Maisi gadis kampung yang jelek, miskin lagi”, jawab Maisi. “Aaah, kamu Maisi, biisaaa saja, hanya laki-laki yang matanya buta saja yang mengatakan Maisi seorang gadis yang jelek, kamu seorang gadis cantik, gadis manis, gadis santun, gadis ramah, pokoknya gadis yang sempurna”, kataku. Entah dari mana inspirasinya, kata-kata keluar meluncur begitu saja dari mulutku. “Seumur-umur Maisi, baru kak Dudy yang mengatakan demikian”, Maisi balas menjawab. “Benar Maisi!, apa yang dikatakan kak Dudy adalah berdasarkan apa yang kak Dudy lihat, mata kak Dudy masih normal kok, jadi kak Dudy mengatakakan yang sebenarnya”. kataku. Sungguh aku sendiri tidak mengerti, mengapa aku bisa berkata demikian, tidak pernah aku bisa berkata-kata demikian, karena aku termasuk pria yang pemalu, tapi di hadapan Maisi kok aku bisa berkata seperti itu. “Kak Dudy juga seorang pria yang gagah, ganteng, keren, ramah dan berbudi”, kata Maisi. “Aku tidak percaya”, kataku sambil nyengir. “Maisi juga berkata benar”, balas Maisi. “Walau pun demikian, kak Dudy senang, jujur kak Dudy akui, kak Dudy senang karena kata-kata itu keluar dari mulut dari seorang gadis yang cantik seperti kamu. Kami sama-sama tertawa. Tanpa terasa perjalanan kami sudah sampai di depan Balai Adat Baringan.
Balai Adat Baringan merupakan bangunan yang bentuknya hampir segi empat dengan ukuran 20 x 20 meter, bertiang tinggi, beratap seng, dindingnya dari anyaman bambu dan lantainya dari kayu. Aku dan Maisi menapakkan kaki di tangga naik yang terbuat dari sebatang kayu yang setiap langkahan kaki diberi semacam lubang yang pas buat telapak kaki untuk tempat pijakan naik. Aku mencoba mengulurkan tanganku ke tangan Maisi untuk membantunya naik, Maisi pun mengulurkan tangannya agar dapat dipegang oleh tanganku. “Telapak tangan kak Dudy sangat halus dan lembut karena kak Dudy tidak pernah mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang kasar, ya, tangan sekolahan, beda dengan telapak tangan Maisi yang kasar karena sering mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar baik di rumah maupun di ladang”, kata Maisi. “Dasar kamu, Maisi, dari tadi mencari perbedaan terus”, kataku sambil tertawa. Sesampai di dalam Balai Adat aku melihat teman-temanku duduk bergerombol berkelompok-kelompok. Aku mendengar yang dibicarakan mereka seputar apa saja dialami dalam perjalanan tadi siang. Banyak kejadian-kejadian lucu yang mereka ceriterakan. Melihat aku masuk bersama dengan seorang gadis setempat, teman-temanku pada menyapaku. “Hey, Dudy, tumben baru datang nih, kemana saja kamu”, tegur Azrul salah seorang temanku. “Oooouu, tadi sempat mampir di taman bunga kampung ini ya”, timpal si Fifi yang juga teman cewekku. “Iya tuh, lihat saja siapa yang di samping Dudy itu”, si Vina menambahi. Aku serasa dikeroyok teman-temanku. Aku cuma bisa mengangkat jari telunjuk dan menaruhnya secara tegak lurus di mulutku. “Ssssstttt”, aku mendesis, “jangan begitu ah, ini aku perkenalkan teman baru kita, namanya Maisi”, kataku selanjutnya. “Oooouu, Maisi namanya”, sahut Fifi. “Iya, selamat malam Maisi”, suara teman-temanku serempak. Maisi dengan sedikit malu-malu menjabat tangan temank-temanku satu per satu sambil kembali memperkenalkan namanya. Teman-temanku juga memperkenalkan namanya masing-masing kepada Maisi.
Aku ikut duduk nimbrung bersama-sama teman-temanku. Aku juga mempersilahkan Maisi untuk duduk bersama-sama teman-temanku. Tapi, Maisi memohon maaf karena dia juga akan bergabung dengan teman-temannya se kampung yang juga sudah hadir di dalam Balai Adat. Setelah Maisi beranjak dan bergabung dengan teman-temannya sendiri, si Azrul membisiki aku, “Dud, dimana kamu kenal gadis itu”. “Tadi waktu aku beristirahat di sebuah rumah di tepi jalan yang kita lalui tadi”, jawabku. Eh, rumah yang berada di bibir kampung yang dekat dengan Balai Adat ini kan”, kata Azrul. “Wah beruntung kamu Dud dapat gadis cantik nan ayu seperti Maisi itu”, kata Azrul lagi. “Kalah saingan kita-kita ini nih”, kata Vina dan Fifi. “Kalian ini bagaimana, Maisi kan cuma temanku, teman kalian juga, tidak lebih dari itu”, kataku mencoba menyembunyikan perasaanku terhadap Maisi. “Hebat kamu Dud, tidak seperti kalian-kalian ini”, suara Vina agak keras sambil telunjuknya mengarah ke semua teman laki-laki. “Memangnya kenapa kami-kami”, terdengar si Eduar yang duduk bersandar pada tiang di pojok ruangan sambil menghembuskan asap rokoknya. Fifi ikut bicara membantu Vina, “kalian ini bisanya cuma ‘pdkt’ saja”. “Apa ‘pdkt’ tuh”, kata Eduar. “Pdkt itu singkatan dari pendekatan, artinya kalian ini bisanya cuma pendekatan melulu tapi tidak pernah membuahkan hasilnya”, kata Fifi. “Ooouu itu”, kata teman-temanku laki-laki serempak. Suasana menjadi riuh. Aku menyela, “eh, kalian semua sudah makan atau belum”. “Ini nih, kami sedang merebus mie”, sahut Dimas yang sedang menunggui rebusan mie. “Kamu barangkali sudah makan ya di rumahnya Maisi”, kata Eduar. “Belum juga”, kataku. “Kalau begitu taruh mie kamu di dalam panci ini biar kita rebus bersama”, kata Fifi. “Nanti saja”, kataku. “Ooouu, kamu sudah kenyang ya karena memandangi wajah Maisi terus”, kata Vina. Waduh aku serba salah diolok-olok teman-temanku terus. Aku mencoba menghindar agar tidak terus diolok-olok oleh teman-temanku. Aku mencari alasan untuk menghindar. “Hai, kawan-kawan, aku tinggal dulu ya untuk menyusul pak Ary”, alasanku. “Oh, begitu, itu tuh pak Ary”, kata si Eduar, sambil menunjuk ke tengah ruangan tempat biasa penduduk setempat melaksanakan upacara adat. Aku pun segera beranjak menjauh dari teman-temanku menuju tempat pak Ary duduk. Sambil melewati kelompok-kelompok teman-temanku, mataku mengamati dimana gerangan Maisi duduk dengan teman-temannya sendiri. Akhirnya mataku bertumbukan dengan mata Maisi yang juga melihatku. Ooouu, di situ rupanya, kataku dalam hati. Aku mencoba lewat di depan Maisi yang sedang duduk bersama-sama teman-temannya. Tepat ketika aku lewat di depan Maisi, dia menegurku, “Kak Dudy, tadi ibu mengantarkan singkong rebus untuk kak Dudy”. “Oh ya, terima kasih sekali”, kataku sambil mendekati Maisi. Melihat aku datang, teman-teman Maisi menjauh dengan terlebih dahulu pamit kepadaku dan juga kepada Maisi. “Ini kak singkong rebusnya”, kata Maisi. “Alangkah enaknya kalau singkong rebus dimakan bersama-sama dengan mie”, kataku. “Boleh dicoba kak”, kata Maisi. Aku menyerahkan 2 bungkus mie yang tadinya kusimpan dalam ransel kepada Maisi. Maisi pun membantu merebus mie. Setelah mie matang, aku pun makan mie yang dicampur dengan singkong rebus bersama dengan Maisi. Melihat aku makan dengan lahapnya, Maisi menyela, “kasihan kak Dudy sangat kelaparan karena perjalanan yang melelahkan tadi siang”, katanya. “Tidak juga, kak Dudy makan kak Dudy lahap bukan karena kelaparan yang diakibatkan oleh perjalanan yang jauh siang tadi tetapi kak Dudy menjadi lahap makannya karena karena yang merebus singkong, ibunya Maisi dan yang merebus mie, Maisi sendiri”, kataku. Maisi tertunduk malu mendengar pujianku. “Ahh, kak Dudy ini, kata-katanya selalu membuat Maisi malu”, kata Maisi. Aku tertawa kecil. Mata Maisi memandangku, mata yang lugu namun indah, beberapa helai rambunya jatuh ke dahi, tangannya memain-mainkan sendok makan yang dipegangnya. Aku tidak tahu perasaan apa yang berkecamuk di dalam hati Maisi. Aku tidak tahu dan tidak mengerti perasaan wanita karena sejak aku mengenal bangku sekolah sampai dengan duduk di perguruan tinggi, aku belum pernah punya wanita yang merupakan teman dekat. Aku belum pernah jatuh cinta dengan teman wanitaku. Pertemuan dan apa yang kualami dengan Maisi, merupakan pengalamanku yang pertama. Aku pun tidak mengerti, perasaan apa yang berkecamuk dalam diriku ini, yang pasti aku sangat senang, sangat bahagia, bersama-sama Maisi. Andaikan aku pintar membuat puisi maka akan kutulis dan kurangkai sebuah puisi indah dan akan kubacakan di depan Maisi agar Maisi dapat mengetahui perasaan yang sedang berkecamuk dalam diriku.
Setelah makan aku mohon ijin pada Maisi untuk meninggalkannya menemui pak Ary. “Maisi, kak Dudy mohon pamit meninggalkan kamu untuk mendatangi pak Aryo”, kataku pada Maisi. “Siapa pak Ary itu”, tanya Maisi. “Itu tuh, lelaki yang duduk di tengah-tengah ruangan”, kataku pada Maisi sambil tanganku menunjuk ke arah pak Ary duduk. “Pak Ary itu dosen pembimbing dalam kegiatan kami ini”. Aku melanjutkan kata-kataku. “Dosen pembimbing itu apa”, tanya Maisi kepadaku dengan lugu. Aku mencoba menjelaskan apa itu dosen pembimbing. “Begini Maisi, dosen pembimbing itu adalah orang yang memberikan, mengarahkan dan mengajari kami-kami ilmu pengetahuan yang merupakan bekal untuk melaksanakan tugas yang dibebankan kepada kami-kami setelah menyelesaikan atau menamatkan pelajaran”. Aku mencoba menjelaskan kepada Maisi. “Oooouu, itu, seperti guruku waktu Maisi sekolah dulu”, kata Maisi. “Yah, seperti itulah”, kataku kepada Maisi. “Baiklah aku pamit dulu ya”, kataku. “Silahkan kak”, jawab Maisi dengan senyum manisnya.
“Selamat malam pak”, aku memberi salam pada pak Ary. “Selamat malam, eh, kamu Dudy, gimana sudah terasa segar”, sahut pak Ary menyambut salamku. “Agak lumayan pak”, kataku sambil ikut duduk di samping pak Ary. “Dudy, malam ini kamu beristirahat saja dulu, tidak usah ikut melaksanakan wawancara dengan penduduk setempat yang sekarang sedang berkumpul di sini, tugas kamu kan besok berkeliling mengambil foto-foto dan membuat video yang menggambarkan keadaan lokasi praktek kuliah lapangan kita”, kata pak Ary. “Oh, begitu pak, jadi saya bisa beristirahat malam ini, terima kasih banyak pak”, kataku pada pak Ary sambil beranjak dari tempat duduk mencari tempat yang kosong untuk beristirahat.
Di sebuah sudut yang berdekatan dengan pintu masuk pada salah satu bilik aku menggelar kantong tidurku kemudian merebahkan diri, telentang, mataku menerawang ke atas langit-langit balai adat. Aku mulai berpikir siapakah kira-kira besok hari yang bisa memanduku untuk mengambil foto-foto dan membuat video, kepala adat tidak mungkin karena akan sibuk melayani pertanyaan-pertanyaan dari teman-temanku yang mewawancarainya, para ‘balian (orang yang biasanya melaksanakan upacara-upacara adat)’ juga tidak mungkin karena juga sibuk membantu kepala adat, oh ya, aku akan mencoba minta bantuan Maisi, ya Maisi, Maisi kan penduduk setempat jadi pasti banyak mengetahui tentang desanya. Ketika aku ingat Maisi yang bisa menjadi pemanduku, terbayang kembali pertemuanku dengannya. Aku tersenyum sendiri, senyum bahagia. Selanjutnya bayangan Maisi mengantarku untuk masuk ke alam tidur yang indah.
Aku tersentak, getaran lantai dan bunyi kaki yang sangat banyak membuat aku membuka mata, oh, sudah pagi rupanya, mataku melihat sekeliling, rupanya teman-teman sudah bangun lebih dulu daripada aku. Aku melepaskan kantong tidurku dan melipatnya, kemudian duduk bersandar pada dinding. Kulihat jam tanganku, jarum panjang menunjuk angka 12 dan jarum pendek menunjuk angka 7. Pagi yang indah, kataku dalam hati.
Winda dan Rony mendekatiku. “Dapat mimpi yang indah ya Dud”, kata mereka serentak sambil tertawa. “Tidak dapat mimpi apa-apa”, kataku sembari tersenyum pada mereka. “Eh, Dud, kamu dapat tugas apa dari pak Ary untuk hari ini”, kata Winda. “Tugas membuat foto-foto dan video yang dapat menggambarkan keadaan lokasi praktek kuliah lapangan kita”, jawabku sambil mengusap-usap mata. “Wah, kalau begitu kamu harus segera mandi, bersiap-siap melaksanakan tugas dari pak Ary, nanti keburu siang”, kata Rony. Siap komandan !, jawabku sambil berdiri. Aku pun mengangkat ransel dan pergi ke sungai untuk mandi. Selesai mandi aku kembali ke Balai Adat, ikut gabung makan mie rebus dengan teman-teman. Selesai makan aku mempersiapkan semua peralatan, kamera dan handycam. Sambil meletakkan tali kamera dan tali handycam di kedua bahu aku beranjak menuju di mana Maisi tadi malam bergabung dengan teman-temannya, kepalaku celingak-celinguk, tapi Maisi tidak terlihat olehku. Barangkali Maisi ada di rumahnya, kataku dalam hati. Aku pun turun dari Balai Adat setelah mohon pamit kepada pak Ary. Aku berjalan menuju rumah Maisi. Benar dugaanku, Maisi ada di rumahnya, dia sedang berdiri di depan pintu dengan baju kaos warna hijau daun dan celana jeans yang berwarna biru, rambutnya diikat ke belakang, tanpa polesan kosmetik, amboi, cantik sekali.
Sudut demi sudut perkampungan, pemukiman, ladang, huma, kebun buah-buahan, kebun sayuran, pemakaman, tempat perburuan, semuanya ditunjukkan oleh Maisi. Aku pun membuat foto-foto dan videonya dari tempat-tempat yang ditunjukkan Maisi. Ketika jarum di tanganku menunjukkan sudah jam 1 siang, aku pun merasa sudah cukup membuat foto-foto dan video.
Senin, 12 Juni 2006, merupakan hari dimana kami akan balik ke kampus meninggalkan lokasi praktek kuliah lapangan di Balai Baringan. Pagi hari itu, cuaca mendung, awan hitam yang tebal menggantung di angkasa, suhu udaranya juga dingin. Kami melaksanakan makan pagi bersama dengan masyarakat yang berada dalam lingkungan Balai Adat Baringan. Usai makan bersama, rombongan kami bersiap-siap untuk berangkat pulang dengan berjalan kaki menuju kota Kecamatan. Di halaman Balai Adat kami berkumpul, begitu dengan juga masyarakat setempat yang akan melepas kepergian kami. Pak Ary sebagai dosen pembimbing memberikan ucapan kata perpisahan yang kemudian disambut ucapan perpisahan juga oleh pemimpin adat Balai Baringan. Kata perpisahan dari yang mau meninggalkan dan yang ditinggalkan dilanjutkan dengan penyerahan bingkisan dari kami berupa pakaian dan sembako kepada masyarakat yang berada di Balai Baringan. Penyerahan bingkisan dibarengi dengan bersalaman dari semua anggota rombongan kami dengan masyarakat setempat.
0 Komentar