Ditulis oleh: Hairiyadi
(Nama-nama, tempat, peristiwa dan ceritera cuma rekaan penulis)
Pak Aryo memberikan kesempatan kepada Leny untuk larut dalam perasaan kesendiriannya, perasaan jauh dari keluarga, tiada tempat untuk berbagi duka dan berbagi suka, di saat yang sama Leny mencoba berbagi perasaan kesendirian itu dengan sosok yang dipandangnya sebagai jelmaan orang dekat yang mau mengerti kegundahan yang selama ini terpendam dalam dirinya. Pak Aryo sendiri memperlihatkan rasa simpatinya atas masalah yang dihadapi Leny. Sesaat pak Aryo ikut terlarut dalam perasaan Leny, cuma sesaat, kemudian dia mencoba membangunkan ketegaran dalam jiwa Leny. Pak Aryo berkata dengan pelan: “Leny, kesendirian janganlah menjadikan diri kita merasa ringkih dan papa, sadari oleh kamu bahwa kesendirian adalah keharusan yang merupakan kodratnya Tuhan Yang Maha Kuasa”. Leny diam dan tertunduk, rambutnya yang panjang terjulur ke bawah menutupi sebagian wajahnya. “Leny”, kata pak Aryo, “Leny mendengar apa saya ucapkan”. Sesaat tidak ada sahutan dari Leny, pak Aryo kembali mengulanginya, “Leny”, ulang pak Aryo. “Ya, pak”, sahut Leny, juga dengan suara yang tetap pelan. “Leny mendengar apa yang saya ucapkan” kata pak Aryo. “Ya, pak, Leny mendengar apa yang bapak katakan tetapi Leny tidak mengerti apa yang bapak maksudkan dengan bahwa kesendirian adalah keharusan yang merupakan kodratnya Tuhan Yang Maha Kuasa”. “Ya”, kata pak Aryo, “maksud saya adalah ‘kesendirian’ bagian-bagian hidup yang pasti kita jalani, coba Leny sadari, nanti ada saat-saat kita harus sendiri, kesendirian ditinggalkan oleh orang-orang yang kita sayangi dalam hidup kita, ditinggalkan oleh orang tua atau saudara kita karena dipanggil oleh Yang Maha Kuasa misalnya. “Ketika itu terjadi maka kita tidak boleh gamang dan oleng, kita harus tetap tegar, tetap semangat, tetap optimis, dimana ada saatnya kita harus bersama dengan orang-orang yang kita sayangi, dan pada saat-saat yang lain kita harus berpisah dengan mereka, dan di situlah kita tertinggal dalam kesendirian”, begitu kata pak Aryo. “Leny, kamu bisa sekarang mengerti apa yang bapak maksudkan”, tanya pak Aryo pada Leny. “Ya, pak, saya jadi bisa mengerti apa yang maksudkan, terima kasih ya pak, bapak telah menggugah kesadaran saya dalam perasaan kesendirian ini, saya harus tetap tegar, tetap semangat dan tetap optimis”, jawab Leny. Leny melanjutkan ucapannya: “saya akan berusaha seperti apa yang dimaksudkan oleh bapak, doakan Leny ya pak”. “Insya Allah Len, bapak akan selalu mendoakan Leny”, jawab pak Aryo. “Ingat Len, setelah selesai studi, kamu nanti akan menjadi orang tua dari anak-anak didik kamu, orang tua dari anak-anak yang kamu lahirkan, menjadi pendamping suamimu, oleh sebab itu ketegaran, semangat, dan optimisme adalah modal dasar kamu”, lanjut pak Aryo”. “Ya pak”, sahut Leny. “Oke, Leny, bapak kira cukup dulu ya pertemuan kita hari ini, nanti kalau kamu sudah menyelesaikan tulisan Bab III silahkan hubungi bapak kembali”, kata pak Aryo. “Ya pak”, sahut Leny. “Terima kasih atas bimbingan bapak dan waktu yang diberikan oleh bapak untuk saya”, kata Leny sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan pak Aryo. Selanjutnya, sambil menjabat tangan pak Aryo, Leny berucap, “Leny, mohon maaf pak, atas segala ucapan dan sikap Leny yang dianggap lancang dan tidak berkenan di hati pak Aryo”. “Sama-sama”, kata Aryo. Mereka secara bersamaan berdiri dari tempat duduknya masing-masing dan beranjak meninggalkan tempat mereka berbincang-bincang.
Matahari semakin meninggi, udara bertambah panas, daun-daun dari pepohonan yang mengitari kampus pada berguguran, burung-burung gereja yang biasanya lincah berterbangan pada berdiam diri di sela-sela ranting-ranting pohon yang teduh.
Pak Aryo melangkahkan kakinya menuju ke sebuah warung makan yang terletak di samping kampus, sesampai di mana banyak warung makan berjejer, mata pak Aryo memandang mengitari warung-warung makan. Hampir seluruh warung makan penuh diisi oleh mahasiswa yang juga mengisi perutnya. Ternyata, selain mahasiswa, di warung-warung makan tersebut diisi juga oleh para orang tua mahasiswa baru yang makan sambil mengantar dan menunggu anaknya yang sedang berkonsultasi dengan dosen penasehat masing-masing.
Warung yang terletak di tengah-tengah jejeran warung-warung, tempat yang dipilih oleh pak Aryo untuk melepaskan rasa laparnya. Pak Aryo memilih bangku duduk paling pojok, kebetulan hanya itulah bangku duduk yang tersisa. Walau pun bangku duduk yang dipilih pak Aryo paling pojok namun tepat di atas plafon menempel kipas angin, sehingga dapat mengurangi rasa panas dalam warung makan. Sambil menunggu makanan yang dipesan, pak Aryo melepaskan kancing bajunya paling atas untuk memberikan tiupan angin dari kipas ke dalam badannya.
Suasana dalam warung makan sangat ramai dengan suara-suara mahasiswa. Mereka sambil makan saling mengutarakan kegembiraan, kekesalan, kesulitan-kesulitan yang dialami dan aktivitas-aktivitas masing-masing. Terdengar celoteh seorang mahasiswi cantik dengan balutan pakaian yang mahal untuk ukuran mahasiswa. Dia dengan muka cemberut mengeluhkan banyaknya tugas yang harus dikerjakannya, ditambahkan lagi dengan dikejar-kejar untuk menyelesaikan praktek mengajar di sebuah SMA di kota ini. Mahasiswi temannya yang duduk di sebelahnya menimpali, “aku juga mengalami hal seperti kamu, tapi aku tambahannya lebih parah lagi, tulisan Persiapan Mengajarku selalu mendapat banyak coretan dari Dosen Pembimbing Praktek Mengajar dan Guru Pamong, sehingga aku harus bolak-balik menulis kembali dan bolak-balik menghubungi dosen pembimbing dan guru pamong, hampir mau gila rasanya aku ini”. Di tempat duduk yang lain, seorang mahasiswa laki-laki yang kelihatannya seorang mahasiswa yang tekun dengan tongkrongan pakai kacamata tebal, rambut dipotong pendek tersisir rapi, pakaian necis disterika rapi, sepatu kulit yang mengkilap mengemukakan kegembiraannya, karena semua tugas-tugas laboratoriumnya sudah diselesaikan dan lebih mengembirakan lagi semuanya tugas-tugas tersebut mendapat nilai A. Temannya duduk memuji, katanya,” kamu memang pantas mendapatkan nilai A karena kamu mahasiswa paling rajin dan paling cerdas di kelas, beda sama aku, kalau aku nilai tugas laboratorium tidak stabil, ada yang mendapat nilai D, ada yang nilainya B+, malahan ada yang nilai E, yang paling hebat aku ini seumur-umur belum pernah mendapatkan nilai A” katanya sambil terkekeh.
Pak Aryo memberikan kesempatan kepada Leny untuk larut dalam perasaan kesendiriannya, perasaan jauh dari keluarga, tiada tempat untuk berbagi duka dan berbagi suka, di saat yang sama Leny mencoba berbagi perasaan kesendirian itu dengan sosok yang dipandangnya sebagai jelmaan orang dekat yang mau mengerti kegundahan yang selama ini terpendam dalam dirinya. Pak Aryo sendiri memperlihatkan rasa simpatinya atas masalah yang dihadapi Leny. Sesaat pak Aryo ikut terlarut dalam perasaan Leny, cuma sesaat, kemudian dia mencoba membangunkan ketegaran dalam jiwa Leny. Pak Aryo berkata dengan pelan: “Leny, kesendirian janganlah menjadikan diri kita merasa ringkih dan papa, sadari oleh kamu bahwa kesendirian adalah keharusan yang merupakan kodratnya Tuhan Yang Maha Kuasa”. Leny diam dan tertunduk, rambutnya yang panjang terjulur ke bawah menutupi sebagian wajahnya. “Leny”, kata pak Aryo, “Leny mendengar apa saya ucapkan”. Sesaat tidak ada sahutan dari Leny, pak Aryo kembali mengulanginya, “Leny”, ulang pak Aryo. “Ya, pak”, sahut Leny, juga dengan suara yang tetap pelan. “Leny mendengar apa yang saya ucapkan” kata pak Aryo. “Ya, pak, Leny mendengar apa yang bapak katakan tetapi Leny tidak mengerti apa yang bapak maksudkan dengan bahwa kesendirian adalah keharusan yang merupakan kodratnya Tuhan Yang Maha Kuasa”. “Ya”, kata pak Aryo, “maksud saya adalah ‘kesendirian’ bagian-bagian hidup yang pasti kita jalani, coba Leny sadari, nanti ada saat-saat kita harus sendiri, kesendirian ditinggalkan oleh orang-orang yang kita sayangi dalam hidup kita, ditinggalkan oleh orang tua atau saudara kita karena dipanggil oleh Yang Maha Kuasa misalnya. “Ketika itu terjadi maka kita tidak boleh gamang dan oleng, kita harus tetap tegar, tetap semangat, tetap optimis, dimana ada saatnya kita harus bersama dengan orang-orang yang kita sayangi, dan pada saat-saat yang lain kita harus berpisah dengan mereka, dan di situlah kita tertinggal dalam kesendirian”, begitu kata pak Aryo. “Leny, kamu bisa sekarang mengerti apa yang bapak maksudkan”, tanya pak Aryo pada Leny. “Ya, pak, saya jadi bisa mengerti apa yang maksudkan, terima kasih ya pak, bapak telah menggugah kesadaran saya dalam perasaan kesendirian ini, saya harus tetap tegar, tetap semangat dan tetap optimis”, jawab Leny. Leny melanjutkan ucapannya: “saya akan berusaha seperti apa yang dimaksudkan oleh bapak, doakan Leny ya pak”. “Insya Allah Len, bapak akan selalu mendoakan Leny”, jawab pak Aryo. “Ingat Len, setelah selesai studi, kamu nanti akan menjadi orang tua dari anak-anak didik kamu, orang tua dari anak-anak yang kamu lahirkan, menjadi pendamping suamimu, oleh sebab itu ketegaran, semangat, dan optimisme adalah modal dasar kamu”, lanjut pak Aryo”. “Ya pak”, sahut Leny. “Oke, Leny, bapak kira cukup dulu ya pertemuan kita hari ini, nanti kalau kamu sudah menyelesaikan tulisan Bab III silahkan hubungi bapak kembali”, kata pak Aryo. “Ya pak”, sahut Leny. “Terima kasih atas bimbingan bapak dan waktu yang diberikan oleh bapak untuk saya”, kata Leny sambil mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan pak Aryo. Selanjutnya, sambil menjabat tangan pak Aryo, Leny berucap, “Leny, mohon maaf pak, atas segala ucapan dan sikap Leny yang dianggap lancang dan tidak berkenan di hati pak Aryo”. “Sama-sama”, kata Aryo. Mereka secara bersamaan berdiri dari tempat duduknya masing-masing dan beranjak meninggalkan tempat mereka berbincang-bincang.
Matahari semakin meninggi, udara bertambah panas, daun-daun dari pepohonan yang mengitari kampus pada berguguran, burung-burung gereja yang biasanya lincah berterbangan pada berdiam diri di sela-sela ranting-ranting pohon yang teduh.
Pak Aryo melangkahkan kakinya menuju ke sebuah warung makan yang terletak di samping kampus, sesampai di mana banyak warung makan berjejer, mata pak Aryo memandang mengitari warung-warung makan. Hampir seluruh warung makan penuh diisi oleh mahasiswa yang juga mengisi perutnya. Ternyata, selain mahasiswa, di warung-warung makan tersebut diisi juga oleh para orang tua mahasiswa baru yang makan sambil mengantar dan menunggu anaknya yang sedang berkonsultasi dengan dosen penasehat masing-masing.
Warung yang terletak di tengah-tengah jejeran warung-warung, tempat yang dipilih oleh pak Aryo untuk melepaskan rasa laparnya. Pak Aryo memilih bangku duduk paling pojok, kebetulan hanya itulah bangku duduk yang tersisa. Walau pun bangku duduk yang dipilih pak Aryo paling pojok namun tepat di atas plafon menempel kipas angin, sehingga dapat mengurangi rasa panas dalam warung makan. Sambil menunggu makanan yang dipesan, pak Aryo melepaskan kancing bajunya paling atas untuk memberikan tiupan angin dari kipas ke dalam badannya.
Suasana dalam warung makan sangat ramai dengan suara-suara mahasiswa. Mereka sambil makan saling mengutarakan kegembiraan, kekesalan, kesulitan-kesulitan yang dialami dan aktivitas-aktivitas masing-masing. Terdengar celoteh seorang mahasiswi cantik dengan balutan pakaian yang mahal untuk ukuran mahasiswa. Dia dengan muka cemberut mengeluhkan banyaknya tugas yang harus dikerjakannya, ditambahkan lagi dengan dikejar-kejar untuk menyelesaikan praktek mengajar di sebuah SMA di kota ini. Mahasiswi temannya yang duduk di sebelahnya menimpali, “aku juga mengalami hal seperti kamu, tapi aku tambahannya lebih parah lagi, tulisan Persiapan Mengajarku selalu mendapat banyak coretan dari Dosen Pembimbing Praktek Mengajar dan Guru Pamong, sehingga aku harus bolak-balik menulis kembali dan bolak-balik menghubungi dosen pembimbing dan guru pamong, hampir mau gila rasanya aku ini”. Di tempat duduk yang lain, seorang mahasiswa laki-laki yang kelihatannya seorang mahasiswa yang tekun dengan tongkrongan pakai kacamata tebal, rambut dipotong pendek tersisir rapi, pakaian necis disterika rapi, sepatu kulit yang mengkilap mengemukakan kegembiraannya, karena semua tugas-tugas laboratoriumnya sudah diselesaikan dan lebih mengembirakan lagi semuanya tugas-tugas tersebut mendapat nilai A. Temannya duduk memuji, katanya,” kamu memang pantas mendapatkan nilai A karena kamu mahasiswa paling rajin dan paling cerdas di kelas, beda sama aku, kalau aku nilai tugas laboratorium tidak stabil, ada yang mendapat nilai D, ada yang nilainya B+, malahan ada yang nilai E, yang paling hebat aku ini seumur-umur belum pernah mendapatkan nilai A” katanya sambil terkekeh.
0 Komentar