Di siang yang terik dan berdebu saya melangkah kaki dengan hati yang senang dan semangat. Perjalanan ke Balai Adat Hayangin yang sempat bimbang, lantaran informasi aruh yang simpang siur. Dini hari mendapat informasi bahwa aruh adat akan diselenggarakan, hari ini impian itu akan menjadi kenyataan.
***
Keindahan alam terhampar di sepanjang jalan yang berkelok-kelok. Langit biru terhampar luas di atasnya, sementara pepohonan menjulang tinggi di kanan kiri, menari-nari dengan gemulai ketika angin lembut menerpa. Langkah demi langkah memasuki lorong waktu yang akan mengantarkan pada perjalanan yang tak terlupakan. Bukit-bukit menjulang gagah di kejauhan, menyapu awan putih dengan keindahan yang memukau. Hutan-hutan yang rimbun mengundang untuk melangkah lebih dalam ke dalam kehidupan alam liar yang harmonis.
Sumber: dokumentasi pribadi.
Sesampainya di balai adat disambut oleh tetua kampung, penghulu adat, beberapa masyarakat sekitarnya. Diperkenankan memasuki balai tersebut. Wajah-wajah mereka yang agak berkeriput cukup menjadi bukti hidup berumur panjang dengan senantiasa melestarikan aruh yang turun-temurun. Kemudian berjabat tangan bersalaman dan ramah-tamah dengan penduduk setempat, mereka sambil bercerita tentang mitos dan legenda yang mengiringi perkembangan masyarakat setempat, memberi wawasan baru tentang akar budaya yang kuat. Aku dan Ayah bercengkrama dengan penghulu adat, bendahara desa, panitia pelaksana aruh, dan beberapa remaja-remaja serta masyarakat Desa Hayangin sambil menunggu pergelaran aruh dilakukan.
***
Aroma nasi yang panas memikat selera para tamu undangan. Dipersilahkan kepada para tamu undangan untuk menyantap hidangan yang telah disajikan oleh para emak-emak balai adat tersebut. Gepulan asap kayu bakar dan asap rokok mulai menyelimuti area balai, membuat atmosfer menjadi kabut yang sedikit mengganggu alat indra. Para tamu undangan pun makin malam semakin ramai dan bertambah banyak, mereka datang berbondong-bondong dari berbagai desa.
Balai ini terletak di pinggir jalan raya, tidak jauh dari perkampungan warga sekitar. Sehingga balai ini mudah di akses oleh berbagai masyarakat desa lainnya. Arsitektur balai sudah terkontaminasi dengan style modernisasi, bangunan balai sejatinya hanya dibuat dari kayu, bambu, dan daun rumbia. Bahan bangunan diambil dari alam sekitar. Kayu digunakan untuk tiang dan kerangka bangunan, sedangkan bambu digunakan untuk lantai dan dinding. Daun rumbia dijadikan atapnya. Lambat laun balai tersentuh modernisasi, lantaran seiring perkembangan zaman. Material yang digunakan untuk membangun balai juga berubah. Meskipun kayu masih tetap setia dipakai, tetapi tidak dengan bambu serta daun rumbia. Atapnya tidak lagi memakai rumbia, tetapi memakai seng. Dinding dan lantai diganti dengan papan kayu, bahkan adapula memakai kalsiboard.
Terdapat 1 ruang induk di tengah balai, 1 dapur umum, dan 4 buah kamar. Aruh di balai ini diselenggarakan selama 3 hari 3 malam. Balai ini berukuran sedikit kecil dari pada Balai Adat Balawaian, sedangkan ukuran Balai Adat Balawaian itu sekitar 10 meter x 12 meter. Saya amati ukuran balai tersebut kurang lebih seperti ukuran rumah tipe 72 (8 meter x 9 meter), karena memiliki ukuran tersebut, membuat para tamu undangan sedikit kesulitan dalam menyantap hidangan. Akan tetapi itu tidak dipermasalahkan, hal ini umum terjadi ketika balai adat berukuran kecil. Meskipun begitu, tidak memudarkan jiwa semangat gotong royong mereka. Sangat wajarlah jika hari pertama pada aruh, para hadirin sangat banyak. Bagaikan pada supporter bola yang hadir mendukung club kesayangan.
Mereka hadir dengan sangat antusias, tidak sabar ingin menyaksikan berbagai ritual yang diselenggarakan. Mereka melebur dalam suatu keharmonisan dan kesederhanaan, karena itu ciri khas dari orang-orang Meratus.
Saat aku sedang termenung, tiba-tiba seorang anak kecil menghampiri dan menyalami tanganku. Aku terkejut saat menyadari bahwa anak tersebut adalah yang pernah aku foto di Balai Adat Balawaian. Momen itu sangat mengharukan dan menyentuh perasaan hatiku yang dingin.
Sumber: dokumentasi pribadi.
Duduk di sudut balai dengan Ayah sambil memandang riuh-riuh bincangan dari masyarakat setempat. Mereka berbincang dengan ceria dan tawa, aku termenung melihat fenomena tersebut. Melihat kekerabatan mereka yang begitu kuat dan harmonis. Selagi menunggu ritual dimulai, beberapa pidato maupun sambutan disampaikan oleh pemerintah dan panitia pelaksana. Balai adat bergerumuh melantunkan bunyi-bunyi dari bincang-bincang warga setempat.
Pelita-pelita kecil dinyalakan. Kelap-kelip di kejauhan membuktikan di Desa Hayangin yang sunyi ada kehidupan manusia. Bulan yang lonjong hampir mencapai puncak langit. Cahayanya membuat bayangan temaram di atas aspal Desa Hayangin. Kehadirannya di angkasa tidak terhalang awan. Langit bening. Udara kemarau makin malam semakin dingin.
Pergelaran di balai ini sangat ramah bagi anak-anak. Ruangan yang sedikit kecil justru menciptakan suasana yang menyenangkan sebagai arena bermain. Cahaya bulan mencipta keakraban antara manusia dengan lingkungannya. Anak-anak makhluk kecil yang masih lugu layak hadir di ruangan balai yang berhias beragam sangkar-sangkar. Mereka pantas berkejaran, bermain dan bersenda gurau. Mereka sebaiknya tahu masa kanak-kanak adalah momen yang hanya sekali datang.
Sekitar larut malam, ritual dimulai
Ritual pertama yang diselenggarakan ialah kalangkang mantit merupakan ritual pembuka aruh, pada ritual tersebut balian membawa semacam burung yang terbuat dari daun hanau. Uniknya ada sedikit perbedaan dari ritus suci ini yang diselenggarakan di Balai Adat Hayangin yakni di belakang tepatnya di dapur umum. Jika waktu di Balai Adat Balawaian, diselenggarakan di muka halaman balai. Akan tetapi itu tidak menjadi permasalahan, karena sebenarnya proses ritus suci itu dilaksanakan harus di luar balai baik di belakang atau pun di muka bahkan di samping tidak dipermasalahkan. Proses ritual ini sama pada umumnya dengan sebanyak 3x mamang diutarakan kemudian ditaburkan beras kuning sebanyak 3x oleh para balian maupun pinjulang dan ada juga beberapa dari masyarakat sekitar yang ingin membantu pada proses aruh tersebut.
Sumber: dokumentasi pribadi.
Kemudian disusul dengan ritual selanjutnya; bapapincuk, mambuka lawang, bapanaikan, manggantung tali rimbunan, mawagang tatak, bakaribut kawalu, dan terakhir bahantu. Setiap tahapan dalam ritual aruh ini memiliki makna mendalam yang menghubungkan manusia dengan alam, serta apa yang dipuja mereka (barangkali leluhur mereka/roh/orang keramat). Konsep kepercayaan lama bertemu dengan kepercayaan Hindu-Islam dapat terlihat ketika kita menyaksikan ritual aruh dengan cermat dan teliti. Pada saat aruh balian selalu menghiau (mengundang) para puja-pujaan mereka. Barangkali secuil ini saya dapat memberi keterangan dalam setiap prosesi aruh dengan nama-nama ritualnya.
Bapapincuk sebagai pembuka jalan, menggambarkan upaya membuka diri terhadap berkah yang akan datang. Mambuka lawang, artinya membuka pintu menuju dunia spiritual, mengundang roh-roh baik untuk turun dan memberkati masyarakat hingga suksesnya acara aruh yang diselenggarakan. Bapanaikan, mengangkat persembahan ke hadapan para leluhur, melambangkan rasa syukur dan penghormatan.
Ritual berlanjut dengan manggantung tali rimbunan, sebuah simbol pengikatan hubungan yang erat antara manusia dan alam. Mawagang tatak, menandai komitmen masyarakat untuk tetap setia pada adat dan tradisi. Bakaribut kawalu, disimbolisasikan memuja roh angin agar pada saat behuma (bertani) tidak mendapati kesialan dan marabahaya (bala) yang dapat merusak atau mengganggu masyarakat. Angin malam mulai berhembus kencang, diiringi suara gemerincing alat musik tradisional, menciptakan suasana mistis yang menggetarkan jiwa.
Akhirnya bahantu menjadi penutup yang sakral, sebuah upacara untuk menyempurnakan semua doa dan harapan yang telah dipanjatkan selama aruh. Dan juga dalam ritual bahantu Balian juga akan memuja atau memohon kepada seluruh hantu-hantu yang dipercaya oleh masyarakat setempat maupun balian itu sendiri agar tidak menggangu warga dengan mengirim penyakit atau membuat gagal panen dalam bertani. Semua ini merupakan penafsiran dari saya pribadi ketika tanya-tanya dengan balian dan beberapa masyarakat yang mengerti arti dari proses aruh atau nama aruh tersebut. Dalam keheningan malam, setelah semua ritual terlaksana, rasa damai menyelimuti setiap orang yang hadir, seolah-olah semua doa telah sampai ke alam leluhur dan diterima dengan tangan terbuka.
Ritual aruh di Balai Adat Hayangin dilaksanakan 3 hari 3 malam berbeda dengan aruh di Balai Adat Balawaian yang dilaksanakan 5 hari 5 malam. Akan tetapi prosesi ritualnya sama saja, jika ada perbedaan tidak mempengaruhi esensi dari aruh tersebut. Hanya saja itu bagian dari modifikasi sang balian yang menjadikan proses ritual aruh di setiap balai itu ada yang berbeda. Sayangnya saya hanya menikmati dan melihat prosesi aruh di Balai Adat Hayangin hanya 1 malam saja, besoknya akan kembali pulang ke Banjarmasin.
Dengan tubuh yang mulai lelah dan rasa kantuk yang semakin berat, aku menyadari betapa kuatnya ikatan spiritual antara masyarakat dan leluhur mereka. Ritual aruh di hari pertama dilakukan sampai ritual bahantu, ritualnya akan dilanjutkan keesokan hari sampai hari terakhir. Perlahan, aku menghela napas panjang, bersyukur telah menjadi saksi dari tradisi yang begitu kaya dan bermakna. Di bawah naungan bintang-bintang dan cahaya bulan yang tenang, aku pun terlelap di pinggir sudut balai.
0 Komentar